Menurut petuah leluhur ada empat rahasia hidup seorang manusia yaitu Jodo (jodoh), Bagja (kebahagiaan), Pati (kematian), Cilaka (kesedihan/musibah). Semuanya ghaib, namun pasti terjadi. Manusia hanya bisa berikhtiar untuk mendapatkan versi terbaik dari semua, salah satu caranya dengan membuat rencana, menetapkan target, tentu dengan disertai kesadaran penuh bahwa pada akhirnya Allah yang akan menentukan hasilnya.

Saya meyakini bahwa menikah adalah kebutuhan secara fisik, mental maupun spirtitual yang harus dipenuhi. Dulu saya punya target akan menikah pada usia 27 tahun dan selambat-lambatnya usia 30 tahun. Jika ada yang membuat saya menunda, maka itu adalah soal kesiapan diri saya sendiri dan jodoh yang belum datang.


Keputusan Besar 

Menikah adalah sebuah keputusan besar. Bagi sebagian orang, menikah adalah hal yang menakutkan karena berbagai alasan. Menikah berarti harus berbagi hidup dengan orang lain, membangun keluarga yang artinya mengambil banyak tanggung jawab. Banyak yang menganggap menikah itu rumit, terlalu banyak komitmen dan konsekuensi. Soal kebutuhan seksual bisa saja dipenuhi tanpa ada ikatan apapun, no string attached. Disisi lain, menikah juga menuntut kesiapan secara ekonomi, apalagi jika ingin menyelenggarakan resepsi yang mewah. Sehingga tidak sedikit orang yang menunda untuk menikah karena dua alasan ini.

Di negara lain, ada trend banyak anak muda yang tidak mau menikah. Bagi mereka yang penting bisa menikmati hidup dan punya 3C (Credit Card, Car dan Condominium). Hidup bisa lebih simple tanpa komitmen yang njlimet seperti pernikahan. Meskipun cara pandang ini juga tidak bertahan lama. Karena pada akhirnya sebagai makhluk sosial, manusia butuh berkumpul dan bersosialisasi. Saat masih muda, teman komunitas masih banyak dan bisa diajak jalan-jalan bareng. Namun saat usia semakin bertambah, semakin sedikit teman yang bisa diajak kongkow dan pada saat itulah hidup kemudian jadi lebih sepi. Akhirnya banyak pasangan yang baru memutuskan menikah setelah melewati usia 40 tahun. Karena pada usia itu baru terasa bahwa berkeluarga adalah sebuah kebutuhan. Keluarga memberi nilai untuk memperjuangkan dan menjalani hidup dengan lebih berarti.

Hukum Menikah 

Hukum asal menikah adalah mustahab, sunnah artinya dianjurkan. Allah memerintahkan dalam Al Quran “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (An-Nuur : 32). Nabi Muhammad SAW dengan jelas menyebutkan “Nikah itu adalah sunnahku, barang siapa yang membenci sunnah ku maka ia bukan bagian dari (ummat)-ku” (HR Bukhori). Siapa pun yang sudah siap secara fisik maupun psikis, maka bersegeralah menikah! Sementara bagi mereka yang belum siap, maka disarankan untuk menahan diri atau berpuasa. Nabi bersabda "Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya" (HR. Bukhori-Muslim).

Namun konteks dan situasi setiap orang berbeda, sehingga dalam fikih islam hukum menikah itu sebenarnya tidak tunggal. Meski bagi kebanyakan hukum menikah itu adalah sunnah (mustahab), ia juga bisa jadi mubah, wajib, makruh bahkan haram dalam konteks dan situasi tertentu.

Misalnya bagi orang yang rentan dan berisiko terjerumus kepada zina, maka menikah menjadi wajib. Karena menikah bisa menghindarkan ia dari berzina. Namun bagi orang yang punya prioritas lain misalnya masih ada tugas untuk belajar dan masih bisa menahan diri untuk tidak menikah maka hukumnya bisa jadi mubah. Tapi bagi yang belum siap fisik dan materi, pernikahan bisa makruh karena dengan menikah bisa jadi akan lebih banyak madharat daripada manfaat yang akan ditimbulkan. Bagi yang belum siap atau karena ada pertalian saudara yang membuat kedua insan tidak boleh menikah maka hukum menikah bisa menjadi haram.

Perintah untuk menikah itu ada syaratnya yaitu kesiapan untuk menjalaninya dengan penuh tanggung jawab dan sepenuh hati. Menikah itu harus serius, penuh komitmen, tidak mempermainkan pasangan atau saling menyakiti, dan tidak boleh mogok di tengah jalan. Menikah juga bisa mengubah hukum seseorang dalam berinteraksi dengan yang lainnya. Dalam khutbah nikah, penghulu selalu menyitir salah satu hadits yang menyatakan bahwa menikah itu menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Misalnya ciuman dan berhubungan seks diluar nikah adalah haram dan termasuk zina. Dengan menikah semua yang diharamkan dilakukan itu menjadi halal dalam pernikahan. Bahkan pergaulan laki-laki dan perempuan adalah ibadah dan bagian dari nafkah yang harus diberikan suami kepada istri atau sebaliknya.

Sebaliknya ada juga yang pada awalnya boleh dilakukan menjadi sesuatu yang dilarang. Misalnya dalam pernikahan suami tidak boleh berkata sembarangan kepada istrinya karena ada yang terkait dengan hukum dzihar, bisa berakibat jatuhnya talak dan konsekuensi hukum lainnya. Contoh lain menikah juga membuta beberapa orang yang tadinya boleh dinikahi menjadi haram dinikahi. Misalnya setelah menikah adik, bibi, ibu dari istri kita menjadi haram untuk dinikahi.

Hikmah Menikah 

Diluar keragaman hukumnya, menikah juga memiliki banyak hikmah. Menikah adalah sarana untuk menyalurkan kebutuhan biologis dengan cara yang ihsan, halal dan syar’i. Menyalurkan hasrat dan kebutuhan seksual dalam pernikahan akan lebih sehat dan aman, secara psikologis terbebas dari rasa bersalah, dosa dan risiko penyakit seksual.

Di lain sisi menikah adalah metode untuk mendapatkan keturunan dengan cara yang baik sesuai dengan tujuan disyariatkannya agama Islam atau maqasid syariah. Al Quran menyebutkan bahwa manusia diciptakan secara berpasangan untuk saling mengenal, kemudian menikah dan menghasilkan keturunan.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS. Al Hujuraat (49):13] 

‘Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian sendiri, kemudian dari istri-istri kalian itu Dia ciptakan bagi kalian anak cucu keturunan, dan kepada kalian Dia berikan rezeki yang baik-baik.” [QS. An Nahl (16):72]. 

Tujuannya adalah untuk menjaga keberlangsungan generasi manusia di bumi. Maka menikah selain berfungsi rekreasi namun juga ada fungsi prokreasi. Ditinjau dengan perspektif ini, maka hubungan sesama jenis tidak mendapatkan tempat di dalam Islam. Karena selain itu melanggar perintah Allah, tapi juga mengancam pemenuhan fungsi prokreasi.

Menikah juga disebut menggenapkan setengah agama ”Apabila seorang hamba menikah maka sungguh orang itu telah menyempurnakan setengah agama maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya” (HR Baihaqi). Pernikahan adalah janji suci dua insan yang bersepakat untuk menjalani hidup sebagai sebuah unit yang tidak terpisahkan dengan segala konsekuensi dan tanggung jawab. Sehingga dalam masyarakat status pernikahan sering digunakan sebagai parameter untuk mengukur kedewasaan dan kematangan seseorang. Orang yang sudah menikah diyakini akan memiliki rasa tanggung jawab, kepemimpinan serta kematangan emosi yang lebih baik dari pada mereka yang masih sendiri.

*Tulisan ini saya ambil dari refleksi 5 tahun pernikahan saya dan istri. Secara lengkap kami tulis di buku Warna-Warni Pelangi.

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung