Satu petuah yang disampaikan oleh seorang senior, namanya Bambang Trenggono, adalah bahwa tidak ada rasa nyaman di zona pertumbuhan, dan tidak ada pertumbuhan di zona nyaman. No comfort in growth zone, no growth in comfort zone, begitu katanya. Bahwa salah satu syarat untuk bisa berkembang adalah melihat ada sesuatu yang perlu diubah, harus diperbaiki. Selalu ada sense of crisis. Dan dalam mode hidup seperti itu, tidak ada rasa nyaman dan rasa puas. Karena selalu saja ada ruang untuk bisa lebih baik lagi. Lagi dan lagi. There is always a room for improvement. 

Filosophy ini penting untuk kita jaga dan tanam dalam kehidupan jika ingin menjadi pribadi yang selalu tumbuh dan berkembang. Dari perspektif agama Islam, satu pesan Rasul yang harus digenggam sekuat tenaga adalah bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin! Karena jika sama, maka kita sudah rugi waktu, dan jika ada kemunduran maka itu tanda malapetaka. 

Ada satu peribahasa lain dalam bahasa Arab yang masih saya ingat adalah bahwa kita harus melihat kepada orang yang lebih tinggi dalam hal ilmu dan wawasan, sebaliknya harus melihat lebih rendah kepada orang dalam hal harta dan kekayaan. Bahwa kita harus bisa selektif di bagian apa keinginan untuk berkembang itu perlu dipupuk terus dan di bagian mana perlu direm, dikendalikan. 

Dalam hal yang bersifat material bahkan mungkin yang tidak esensial seperti kekayaan, penting untuk merasa cukup.  Agar bisa bersyukur misalnya dengan melihat orang-orang yang kondisinya di bawah kita. Sementara dalam hal ilmu dan kontribusi kepada masyarkaat, benchmark yang harus dipatok tentu harus lebih tinggi sehingga menuntut kita untuk terus memperbaiki diri. Dengan begitu maka dalam kita merasa cukup dan bersyukur namun juga tetap merasa lapar dan dahaga untuk terus mengembangkan diri. 

Saya juga teringat diskusi soal Fixed Mindset dan Growth Mindset. Dua konsep ini bertolak belakang dan akan sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan kita dalam hidup. Fixed Mindset seperti bahasanya cenderung melihat segala sesuatunya itu fixed, sudah diatur, sudah dari sananya. Tidak bisa berubah. Pola pikir ini membuat orang malas untuk bisa mengubah sesuatu karena banyak hal sudah 'bawaan' dan tidak bisa diubah. 

Bahwa dalam keberhasilan faktor bawaan seperti IQ, dukungan ortu atau lingkungan adalah yang paling berpengaruh. Dalam konteks agama mungkin agak dekat sama teologi Jabbariyah bahwa banyak hal tidak bisa diubah karena sudah ditentukan oleh yang maha kuasa. Sedikit sekali ruang untuk improvisasi. Dan manusia minim sekali berandil untuk mengubah hasil atau arah perubahan. 

Terkadang ide langsung tumpul, karena terlalu fokus kepada hal-hal yang tidak bisa dibuah, pada sisi buruk yang membunuh optimisme. Pesimis dan menyerah adalah pilihan wajar, karena usaha manusia sedikit sekali kontribusinya. Kadang pula menjadi sangat judgemental saat menilai orang karena beranggapan 'adat kakurung ku iga'.  Bahwa manusi sulit untuk berkembang, tidak banyak yang bisa dikembangkan atau diubah. Juga cenderung overthinking, bahwa hasilnya sudah jelas sehingga usaha dan upaya maksimal adalah sia-sia belaka. 

Sebaliknya dari itu adalah Growth Mindset, seperti asal katanya semua hal itu tumbuh dan berproses. Seribu KM perjalanan harus dimulai dengan gerak 1 cm, dimulai dengan langkah pertama yang penuh semangat. Bahwa kegagalan itu wajar saja, dan akan memberikan banyak pelajaran. Namun hanya  menyerah yang menghalangi seseorang untuk sukses. Salah itu bisa diterima selama kita mendapatkan pembelajaran dan sudah berusaha maksimal dalam mencapai hasilnya. Bukan soal berapa kali jatuh, yang paling utama adalah upaya untuk terus bangkit dari segala cobaan. Rumusnya satu saja, coba sekali lagi, lagi dan lagi hingga berhasil. 

Dalam hal ini bukan hanya hasil yang dinilai tapi juga proses dan usahanya. Bahwa manusia tidak lahir sebagai insan yang pandai berlari, semua mulai dari belajar bergerak, lalu merangkak, berguling tertatih belajar jalan dan pada akhirnya bisa kencang berlari. Ada banyak ruang yang bisa dilakukan oleh manusia. Manusia bisa memilih nasib yang mana dari takdir yang sudah ditentukan. Upaya manusia ibarat pilihan bidak catur, banyak ruang untuk bergerak di kotak 8x8. Batasannya baru ditentukan oleh yang maha kuasa tidak bisa keluar dari zona 8 kotak itu. Sungguh manusia punya banyak andil untuk menentukan apa yang akan dia dapatkan.

Seperti kata orang bijak di dunia ini tidak ada yang abadi kecuali perubahan. Dan orang yang maju adalah yang tidak alergi terhadap perubahan itu. Namun justru mereka yang terus bergerak berusaha, bergerak menjalani jalan sejarah masing-masing yang akan sampai pada tujuan. Tujuan itu bisa berubah sesuai dengan level dan kedewasaan usia kita masing-masing. Tobaqon an tobaqin, satu level sudah tercapai akan ada level lain yang harus dikejar dan diperjuangkan. Karena hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti sesuai dengan maqomnya masing-masing. 

Rumusnya adalah man jadda wajada, man saaro ala darbi washola. Siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan yang ingin ia capai. Siapa yang ingin sampai tujuan harus menempuh onak duri dan rintangan yang ada di jalannya. Tidak menghindar, tidak gentar meski halangan dan rintangan akan selalu ada di hadapan. Kuncinya adalah sabar, murrun fi madaqotihi. Rasanya memang tidak selalu manis, bahkan pahit, penuh peluh penuh penat. Namun hanya itu yang bisa dilakukan. 

Akhirnya yang akan berhasil adalah yang setia terhadap perjuangannya masing-masing. Yang selalu istiqomah. Kurang lebih begitu.

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung