Dalam pernikahan kita sebetulnya akan mengembangkan kebiasaan baru yang mungkin belum ada di keluarga asal. Apalagi keluarga yang kita bina sekarang akan hidup dalam setting sosial dan perkembangan zaman yang berbeda dengan keluarga kita sebelumnya.

Dahulu di rumah tidak ada TV yang bisa siaran selama 24 jam. Jam 9 malam siaran TV sudah selesai. Perangkat teknologi yang paling canggih adalah telepon rumah, yang bahkan tidak semua rumah memilikinya. Bayangkan dengan sekarang, mau tidur sekalipun kita masih bisa menggamit telepon pintar dan membuat status ‘bobo dulu ya’.

Dalam keluarga, saya dan istri bersepakat untuk mengembangkan tradisi baik yang sudah ada di keluarga masing-masing dan membiasakan tradisi baru yang menurut kami baik untuk diterapkan. Saya akan share dalam tulisan ini beberapa diantaranya:

1. Khitanan Bayi 

Tradisi yang coba kami budayakan adalah melakukan khitan sejak bayi. Tradisi ini tidak ada di keluarga saya. Dulu di kampung biasanya anak lelaki baru disunat saat mau masuk atau lulus SD. Saya sendiri disunat ketika kelas 4 SD. Ada juga teman saya yang baru disunat saat mulai menginjak kelas 1 SMP.

Ide khitanan saat bayi muncul dari mertua saya. Beliau mengusulkan supaya Ali Kahfi dikhitan pada usia bayi 40 hari. Ia berargumen bahwa orang yang berkhitan pada masa bayi akan memilki kelebihan dalam kehidupannya. Pada awalnya saya menolak ide ini dengan diplomatis. Saya sampaikan kepada istri apakah ada manfaat khitan semasa bayi? bagaimana tinjauannya medis dan agama?

Saya mencari informasi mengenai khitanan bayi dari internet. Dari segi agama tidak ada dalil atau riwayat yang secara khusus memerintahkan dengan jelas kapan waktu yang tepat untuk berkhitan. Yang ada adalah bahwa seorang lelaki harus dikhitan sebelum masuk usia akil baligh, itu saja. Memang ada riwayat Nabi Ibrahim AS yang diceritakan berkhitan pada usia 40 tahun.

Sementara riwayat lain menyebut Nabi Muhammad mengkhitan cucunya Hasan dan Husain pada usia 7 hari. Yang pasti tidak ada larangan maupun anjuran untuk melakukan khitan pada bayi. Maka saya mengambil kesimpulan bahwa khitan ketika masih bayi itu boleh.

Lalu bagaimana tinjauan medis? Dalam hal ini ada pro dan kontra terhadap khitanan bayi. Yang pro mendasarkan pandangannya pada manfaat kesehatan dan psikologis.

Pertama dari segi kesehatan, kulit kepala kelamin laki-laki berpotensi menahan kotoran yang tersaring dari cairan kencing yang disebut dengan smegma dan mengumpul di sela-sela kulit. Risikonya banyak, dari mulai penyumbatan lubang kencing, infeksi hingga kanker kelamin.

Coba perhatikan jika kita memerikasakan anak laki-laki yang demam ke dokter, maka salah satu yang diperiksa adalah kelaminnya, sudah disunat atau belum? Bengkak atau tidak? Karena biasanya infeksi di saluran kencing adalah salah satu penyebab demamnya tadi. Teorinya semakin cepat kulit kepala kelamin dibersihkan (dikhitan) maka semakin besar kemungkinan ia terhindar dari risiko infeksi saluran kencing.

Kedua dari sisi psikologis, dikhitan artinya memotong sebagian anggota tubuh yang prosesnya cukup menyakitkandan bisa menimbulkan trauma pada sang anak tersebut. Sementara ketika masih bayi, banyak saraf dalam kulit yang belum aktif, sehingga ketika ada proses pemotongan tidak akan terlalu sakit bahkan tidak terasa sama sekali. Sehingga secara psikologis bayi yang dikhitan lebih besar kemungkinannya untuk terhindar dari trauma rasa sakit.

Sementara kelompok yang menentang khitan bayi bertumpu pada alasan bahwa praktek khitan bayi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Alasannya karena bayi belum bisa menentukan sikap apakah ia mau ‘dipotong’ atau tidak tidak. Orang yang memotong bagian tubuh seseorang tanpa seijinnya itu sama saja dengan melanggar HAM.

Tentu dari sudut pandang Islam argumen ini tidak bisa diterima karena khitan adalah salah satu sunnah yang harus dilakukan setiap lelaki. Sebetulnya ada satu alasan lain yang membuat orang menunda khitanan anak, yaitu repesi khitanan. Khitanan dipandang sebagai satu proses penting yang perlu dirayakan sebagaimana pernikahan. Katanya takut anaknya “nagih” angpau.

Dengan riset kecil-kecilan ini akhirnya saya dan istri sepakat untuk melakukan khitan di waktu bayi. Alasannya karena dibolehkan secara agama dan manfaatnya banyak dari segi medis. Setelah anak saya dikhitan, ini menjadi trend baru di keluarga saya. Anak lelaki adik saya dan seorang teman juga di khitan saat masih bayi. So, bagi orang tua yang belum mengkhitan anak, bersegeralah dan jangan ragu!

2. Tidak membiasakan nonton TV 

Di generasi saya TV adalah sumber hiburan dan informasi yang utama. Waktu kecil saya hafal jadwal hampir acara semua stasiun TV hingga acara per jamnya. Setiap hari saya nonton TV, apalagi waktu itu TV swasta semacam RCTI baru dilaunching. Meskipun begitu, bukan berarti saya mendorong orang untuk nonton TV.

Karena dalam jangka panjang kebiasaan nonton TV tidak terlalu bagus untuk perkembangan anak. Alasan pertama adalah karena hal tersebut mendorong budaya nonton yang efeknya menurunkan budaya membaca. Ini pengalaman saya waktu kecil dulu. Sudah di lingkungan kita budaya membaca masih rendah, maka gempuran budaya nonton semakin menghambat perkembangan budaya membaca.

Alasan kedua, karena tontonan yang ada di TV sekarang isinya sudah tidak karu-karuan. Sedikit sekali acara yang memberi manfaat kepada penontonnya. Acara gosip, reality show dan acara lainnya kualitasnya kurang bagus. Bahkan acara informasi sebagian besar mengeksploitasi kabar buruk yang membuat penontonnya frustasi. Karena doktrin yang dipegang adalah good news is bad news. Sehingga keanehan, kejanggalan dan absurditas lah yang dijual untuk menaikkan rating.

Alasan ketiga menurut saya menonton adalah distraksi atau godaan hidup. Mungkin karena saya orang yang sangat visual. Dulu waktu di rumah saya tidak punya kamar sehingga harus tidur di ruang tengah yang ada TV. Akhirnya karena hidup di depan TV, saya sulit untuk tidur sehingga baru terlelap jika malam sudah larut. Ini masih menjadi kebiasaan hingga saat ini. Saat ada tugas keluar kota dan menginap di kamar hotel dengan TV, saya sulit untuk tidur.

Karena alasan inilah saya dan istri sepakat meminimalisir nonton TV di keluarga kami. Saya nonton TV kalo ada acara musik, hiburan atau pertandingan sepakbola. Sebagai gantinya saya coba download film atau drama seri yang bagus jika mau nonton TV sekali-kali. Untuk anak saya carikan salah satu acara reality show terkenal di Korea judulnya “The Return of Superman”. Serial ini sangat bagus karena menunjukkan bagaimana seorang anak berinteraksi dengan ayahnya selama dua hari tanpa kehadiran ibu. Ini reality show tentang Daddy and Me Time. Nah bagi anda yang punya anak balita saya menyarankan untuk menonton serial ini. Selain lucu dan menggemaskan, serial ini juga penuh dengan pesan moral yang baik.

3. Membiasakan membaca dan membeli buku 

Banyak faktor yang membuat budaya membaca di kalangan masyarakat tidak terlalu bagus. Diantaranya adalah minimnya akses terhadap buku murah berkualitas, sistem pengajaran dan kurikulum sekolah yang kurang menanamkan budaya membaca serta kampanye membaca di masyarakat yang kurang masif.

Di rumah saya mencoba menanggulangi hambatan ini. Saya berusaha untuk lebih sering membelikan buku bacaan bagi anak. Memang tidak gampang menanamkan minat baca dan prosesnya membutuhkan waktu yang cukup panjang. Namun dengan menyediakan buku bacaan anak diluar buku pelajaran, itu memberikan pilihan pada anak bahwa ada buku lain yang menarik untuk dibaca.

Semoga dengan upaya ini minat membaca anak akan meningkat secara perlahan. Kalo tidak ada buku, lalu mau baca apa? Pada awalnya buku-buku itu hanya dijadikan mainan. Digelar memanjang membentuk rel kereta api. Atau ditumpuk ke atas menyerupai pilar atau gedung-gedung bertingkat. Namun seiring dengan perkembangan kognitifnya secara perlahan buku-buku itu sekarang sudah mulai dibaca. Semoga saja terus ada peningkatan.

4. Buang sampah dan pola hidup bersih 

Kebiasaan lain yang saya tanamkan adalah pola hidup bersih, terutama soal membuang sampah pada tempatnya. Bagi saya, membuang sampah dengan baik adalah kebiasaan yang penting selain belajar membersihkan kotoran. Karena jika kita membuang sampah dengan baik, maka kondisi di sekitar kita akan lebih bersih dan rapi.

Membuang sampah itu mirip dengan mencegah penyakit, lebih kepada upaya preventif. Yang membuat bumi kotor bukan hanya karena malas membersihkan kotoran tapi juga karena produksi sampah yang berlebihan. Sejak dari kecil, istri tidak membiasakan anak saya belajar makan belepotan.

Jika ada kotoran di sekitar mulutnya dengan sigap segera dilap dengan tisu atau tangan. Sehingga anak saya tidak terbiasa ada remah-remah atau kotoran makanan di sekitar mulutnya. Begitu pula selesai makan, kami sebisa mungkin memastikan Ali membuang plastik atau kertas bungkus makanannya dengan baik.

Kami ajarkan bahwa membuang sampah adalah pengalaman menyenangkan. Jika saya atau istri memberi dia sesuatu sambil menyebut kata ‘sampah’ maka Ali akan menerimanya dengan riang dan bergegas mencari tong sampah. Saya hanya berharap kebiasaan baik ini bisa ia pertahankan dan menjadi awal untuk mendorong kebiasan-kebiasaan baik yang lainnya. Amin.

5. Tidak Gampang Melarang 

Setiap anak memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar. Baginya dunia ini penuh dengan hal-hal baru yang menarik untuk dilakukan. Seorang balita atau anak-anak akan sangat adventorous, selalu ingin mencoba. Sayangnya tidak semua apa yang ia coba adalah hal yang aman untuk dilakukan. Tidak jarang ia melakukan hal-hal yang bisa membahayakan.

Karena hal ini, banyak orang tua yang menjadi overprotective dan merasa harus membatasi dan melarang anak melakukan banyak hal. Mungkin itu akan baik bagi keselamatannya, tapi itu juga akan membuat anak menjadi tidak percaya diri dan meninggalkan sikap aslinya sebagai seorang pencoba-coba, explorer.

 Nah, terkait dengan hal itulah kami mencoba membiasakan kebiasaan untuk tidak terlalu banyak melarang anak. Saya dan istri mencoba untuk seminimal mungkin menggunakan larangan untuk menjaga semangat ingin tahu anak. Melindungi anak dari hal yang membahayakan tidak mesti dilakukan dengan melarang, atau say no. Tapi bisa juga dengan memberikan alternatif. Misalnya kalo kita tidak mau anak bermain mobil-mobilan kasih saja mainan bowling atau permainan lainnya.

Trik lain yang bisa dipakai yaitu dengan mengalihkan perhatian kepada hal lain yang lebih menarik. Sehingga mengarahkan anak tidak melulu dengan kata ‘jangan ini’ atau ‘jangan itu’.

6. Rumah SABAR 

Kebiasaan yang selanjutnya adalah membiasakan lingkungan yang bebas asap rokok. Alhamdullillah saya tidak suka merokok, sehingga saya dapat dengan mudah memberi contoh kepada anak bahwa hidup nyaman bisa tanpa rokok. Saya membuat rumah saya bebas asap rokok. Begitu pula di rumah kakek dan neneknya baik yang di Cianjur ataupun yang di Garut saya minta babeh dan mertua untuk tidak merokok di dalam rumah.

Anak saya kalo lihat bungkus rokok dengan spontan ia akan bilang ‘teu kengeng’ (tidak boleh). Begitu pula ketika melihat berbagai bungkus rokok ia akan dengan singgap bilang “ulah ngarokok (tidak boleh merokok)”. Semoga konsisten, Nak!

Itulah beberapa kebiasan yang coba kami tanamkan di rumah. Semoga diberikan kekuatan agar kebiasaan-kebiasaan ini bisa dijalankan dengan konsisten dan menjadi tradisi di keluarga untuk seterusnya. Jika ada kebiasaan baru yang bagus kami juga akan mencoba untuk menerapkannya. 

*Tulisan ini saya ambil dari refleksi 5 tahun pernikahan saya dan istri. Secara lengkap kami tulis di buku Warna-Warni Pelangi.

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung