Isu perencanaan keuangan itu bagi sebagian besar orang adalah tema yang agak mewah, elitis dan agak asing. Setidaknya itu yang saya rasakan di awal-awal dulu waktu masih bau kencur dan masih single. Penyebabnya kenapa? bisa macam-macam. Setidaknya ada beberapa jawaban. Pertama karena memang uangnya nggak ada! Lha buat apa punya rencana bagaiaman menggunakan uang kalo duitnya nggak ada ya kan? Itu juga saya dengar dari celotehan teman waktu saya share bacaan soal perencanaan keuangan. 

Penyebab lain karena memang literasi keuangan kita masih rendah. Saya baca sebuah berita, terkait survei OJK yang menunjukkan bahwa literasi kuangan kita masih baru 38% meskipun inklusi keuangan sudah 76%. Artinya memang masih perlu usaha keras untuk meningkatkan literasi keuangan kita. Bahkan di artikel yang sama di sebutkan di Amerika Serikat sekalipun yang besar dan menjadi kapitalis modern karena kuat di dalam industri keuangan, literasinya masih juga masih di bawah inklusinya. Bahkan dalam sebuah survey di sebutkan di AS sekalipun 25% masyarakat sama sekali tidak menyiapkan dana pensiun. 

Saya sendiri baru mulai merasa perlu tahu isu ini setelah menikah. Setelah punya pasangan, dan terutama setelah punya anak pertama. Mungkin rasa tanggung jawab dan juga kebutuhan hidup yang mulai meningkat mendorong seorang kepala keluarga amatir seperti saya waktu itu untuk mencoba mengupgrade informasi dan pengetahun diri soal bagaimana merencanakan keuangan keluarga. Waktu itu saya baca dan beli bukunya Ligwina Hananto, Untuk Indonesia Yang Kuat: 100 Langkah Untuk Tidak Miskin. 

Mengapa saya tertaruk buku itu?  Karena buku ini adalah salah satu buku soal perencanaan keuangan keluarga yang menenmpatkan isu ini dalam konteks yang lebih luas. Kurang lebih dalam buku itu Ligwina menyampaikan premis bahwa setiap keluarga di Indonesia itu harus melek finansial supaya bisa menjadi bagian dari kelas menengah di Indonesia yang kuat. Dan dengan memiliki kelas menengah yang kuat maka Indonesia akan menjadi kuat juga. Ligwina menekankan relevansi kekuatan individu keluarga secara finansial akan menyokong juga kekuatan finansial negara secara nasional. 

Barulah setelah baca buku tersebut saya mulai tercerahkan seputar mengelola keuangan keluarga secara lebih baik. Dari buku itu pula saya mulai terpapar apa itu pnetingnya menyiapkan dana darurat, dana pensiun, dana pendidikan anak, dana renovasi rumah dan dana-dana lain yang terus terang saja setelah baca bukunya waktu itu, saya masih juga masih berpikir ini konsep bagus tapi tetap kok too good to be true. Satu mindset yang sangat berasa bisa saya ambil adalah soal pentingnya kita menyiapkan masa depa dengan sebaik-baiknya dan buku perencanaan keuangan memnunjukkan detailnya kira-kira rencana itu harus seperti apa?

Kemudian poin penting kedua yang saya dapattkan dari membaca buku itu adalah pentingnya mengetahui berbagai macam produk keuangan/investasi, bagaimana menabung yang cerdas dan efektif dan betapa kesabaran dalam menyiapkan berbagai rencana keuangan. Saya waktu itu mulai mempelajari instrumen reksadana dari Danareksa. Saya membuka rekening nasabah dan mulai menabung secara rutin dari sekecil apapun untuk mencapai tujuan keuangan yang ingin saya capai. 

Dari baca buku Ligwina yang ini saya kemudian semakin semangat untuk menambah wawasan soal perencanaan keuangan. Tidak ada buku lain yang saya coba baca, namun saya menjadi lebih rajin untuk browsing berbagai artikel-artikel terkait perencanaan keuangan. Beberapa nama yang sering saya baca adalah Ahmad Ghozali dan tentunya pakar perencanaan keuangan yang juga pengasuh rubrik di salah satu koran terkenal yaitu Safir Senduk. 

Dari Ligwina saya belajar pentingnya memulai menabung untuk mencapai tujuan keuangan dari hal yang kecil. Misalnya dengan menabung melalui reksadana kita bisa ikut nabung instrumen keuangan dengan dibantu oleh manajer investasi profesinonal. Sebagai contoh jika ingin menabung saham dengan aman maka bisa mullai beli reksadana dan  perusahaan manajer keuangan yang memilihkan saham dan mengalokasikannnya dengan baik. 

Dari Ahmad Ghozali saya belajar bagaimana mengelola keuangan yang efektif. Dalam sebuah artikel Ghozali menyarankan bahwa setiap pendapatan yang didapatkan semestinya dihabiskan! Dalam arti harus dialokasikan dengan mempertimbangkan beban dan berbagai tujuan keuangan. Misalnya dia mensyarankan bahwa setuap kita gajian atau dapat uang fee maka prioritas pertama adalah membayar kewajiban. Contohnya kewajiban itu adalah bayar utang, bayar cicilan, Zakat, infak, sedekah dll. Kedua setelah itu baru menabung atau investasi. Ketiga baru dikonsumsi untuk belanja kebutuhan atau konsumsi yang lainnya. Baru setelah itu bersenang-senang. 

Urutan dari Ahmad Ghozali ini penting bagi saya karena dulu mindsetnya menabung itu adalah sisa dari belanja. Ini tentu bukan mindset yang pas, karena kebutuhan itu sangat fleksible dan bisa membengkak atau mengempis kapan saja. Berapapun uang yang kita miliki rasanya tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan, atau yang dianggap sebagai kebutuhan belanja. Akhirnya menabung, investasi dan membayar kewajiban tidak akan pernah terpenuhi dan bukan prioritas. 

Mungkin banyak orang yang sudah diajarkan orang tua dan lingkungannya untuk melakukan hal yang seperti diajarkan oleh para perencana keuangan. Namun saya yakin banyak orang yang tidak berpikir seperti itu, atau tidak pernah mendapatkan pengalaman dan contoh dari orang tua. Dan kalopun sudah ada yang punya pengalaman dari lingkungannya sekalipun belum tentu mampu dan mau melakukannya sesuai dengan konsep yang difahami. 

Karena seperti pengetahuan yang lain, tahu adalah awal. Namun untuk mampu dan mau melaksanakan pemikian atau pemahamannya adalah hal lain yang perlu latihan dan keseriusan. Saya juga mungkin baru pada tahap tahu dan sadar, untuk mampu melakukan segala rencana dan memenuhi tujuan keuangan butuh bab dan latihan serta komitmen bartahun-tahun untuk melaksanakannya. 

Dalam kenyataannya memang menerapkan dan mencapai tujuan keuangan ini bukan hal yang mudah. Pernyataan teman dan saya sendiri yang merasa perencaan keuangan belum relevan sangat benar saat pendapatan dan penghasilan belum menentu atau masih kekurangan. Jangankan untuk menabung atau berinvestasi, untuk memenuhi kebutuhan rasanya tidak akan tercukupi. 

Tapi disitu juga seninya, bahwa hukum besi dalam perencanaan keuangan adalah bukan sebesar apa penghasilan yang kita punya. Namun sebanyak apa yang bisa kita simpan dan sisihakan untuk kebutuhan di masa yang akan datang. Keluarga yang punya penghasilan 5 juta per buan namun komitmen menabung minimal 500 ribu sebulan (10%) tentunya lebih baik daripada yang berpenghasilan 20 juta namun hanya mampu menabung 1 juta  (5%) per bulan. Pada akhirnya konsistensi dan komitmen akan menjadi kunci. 

Refleksi dari berbagai bacaan saya soal perencanaan keuangan saya tuliskan dalam entry blog ini di beberapa bagian seperti di daftar di bawah ini. Semoga bermanfaat:




Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung