Kecurangan pemilu itu saya kira memang masih ada. Sejak pemilu, pilkada dan sebelumnya kita selalu dengar 'bisik-bisik tetangga' soal ini. Baik itu dengan cara politik uang sebelum hari H, misalnya dengan money politics, serangan fajar. Atau bisa juga manipulasi di tingkat penghitungan suara di tingkat TPS, desa, kecamatan, dan seterusnya.

Ini bisa saja terjadi karena ada insentif yang mendorong dan memungkinkan itu terjadi. Misalnya wilayah yang begitu luas dengan kondisi geografis dan akses yang tidak sama. Ada 800 ribu lebih TPS yang membuat pengawasan dari saksi antar pihak menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi politik biaya tinggi yang mendorong caleg kelas kakap berupaya sekuat tenaga mengeluarkan sumber daya untuk mengamankan kursi. Ditambah hal-hal teknis lain yang memungkinkan ada kesalahan input, kesulitan pengawasan dan lain sebagainya.


Namun untuk mengatakannya sebagai sesuatu yang massif, terstruktur dan sistematis agak sulit mencarikan argumentasinya.

Saya yakini bahwa di zaman reformasi, keterbukaan dan di era demokrasi multipartai seperti sekarang ini akan sulit melihat itu terjadi secara massif, sistemik, dan terstruktur. Kecurangan mesti sifatnya kasuistik dan pelakunya adalah segelintir orang saja, oknum.

Salah satu faktornya adalah pemilihan langsung yang sulit untuk melakukan upaya sistematis seperti tiu. Ini juga ide besar yang melatarbelakangi kenapa kita melakukan pemilihan secara langsung adlaah agar semua rakyat bisa memilih tidak hanya perwakilan suara anggota DPR saja. Alasannya karena memanipulasi berjuta jiwa akan begitu sulit bahkan niscaya. Akan lebih mudah melobi segelintir orang saja, jabatan tertentu lebih mudah dinegoisasikan dengan musyawarah oleh perwakilan. Rekayasa masif sulit untuk dilakukan saat kekuasaan terdistribusi diantara berbagai golongan dan tidak terakumulasi pada satu sisi saja. 

Kedua, adalah tidak ada kekuatan politik yang terlalu dominan di negara ini. Partai yang banyak itu meskipun berkoalisi dalam dua kelompok besar pasangan capres cawapres, namun sejatinya satu sama lain bersaing saling berebut suara. Semua partai akan saling mengawasi, saling menjaga suara, mengamankan dukungan masing-masing. Jangankan antar partai, antar caleg dari satu partai pun tak jarang saling injak, saling incar saling intip.

Semakin banyak pihak yang bermain dengan beda kepentingan, semakin sulit ada satu kongsi dominan. Tentu akan selalu ada persaingan di internal koalisi partai baik pendukung 01, maupun 02. Namun persaingan sengit sejatinya terjadi diantara pendukung partai manapun bahkan antar sesama caleg. 

Apalagi juga jika kita lihat persaingan antar partai yang memperebutkan ceruk pemilih yang sama. Persaingan untuk menarik masa Islam terjadi diantara partai berbasis pemilih muslim seperti PKS, PKB, PPP, PAN, dan PBB. Dan kita sudah lihat bahwa NU secara tradisi lebih dekat ke PKB, atau juga ke PPP. Muhammadiyah sebagian besar ke PAN dan mungkin juga PKS. Sementara kelompok islam lain menjadi rebutan antara PKS, PBB dan PPP. Dari masa ini saja irisan masing-masing begitu kental. Belum lagi suara partai nasionalis yang ceruknya lebih besar diperebutkan oleh Golkar, PDIP, Gerindra, Nasdem, Hanura, PSI, dan Berkarya. Semua saling menunjukkan kelebihan masing-masing.

Poinnya adalah bahwa diantara partai-partai ini akan saling bersaing satu sama lain. Proses demokrasi di Indonesia sudah menuju masa konsolidasi demokrasi. Sulit sekali untuk kembali ke masa totalitarian dimana satu penguasa bisa menguasai dan menentukan arah kebijakan negara ini secara seenaknya satu pihak. Kekuasaan sudah terbagi hampir merata.

Alasan lainnya adalah tumbangnya petahana dan rontoknya partai-partai penguasai. Kekalahan Megawati oleh SBY dulu, meroketnya suara demokrat, hingga kemenangan Jokowi, juga saling mengalahkan banyak partai dalam kontestasi Pilkada menunjukkan bahwa semua partai dan petahana bisa saja dihukum dan bahwa pemilihan umum adalah sarana efektif untuk mengganti kepemimpinan. Kekuasan saling berganti. Tidak ada partai yang benar-benar dominan di era paska reformasi.

So, benarkah ada kecurangan? Kita bisa lihat banyak sekali buktinya. Namun saya yakin itu tidak terjadi secara absolut, sistematis, terstruktur atau massif. 

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung