JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Institute for Social Development (IISD) mendesak pemerintah Indonesia agar tidak ragu mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO, mengingat 90 persen negara di dunia telah mengambil langkah serupa.
Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum menandatangani perjanjian internasional tersebut.
"Saat ini pemerintah terkesan galau, di satu sisi ingin mengendalikan tembakau, namun di sisi lain justru menargetkan peningkatan produksi rokok hingga 524 miliar batang pada 2020," kata Manajer Program IISD Deni W Kurniawan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (30/6/2016) malam.
Menurut Deni, kekhawatiran pemerintah untuk mengaksesi FCTC terletak pada potensi kerugian bagi petani tembakau, padahal masalah utama yang dihadapi petani yakni tata niaga.
"Produksi tembakau kita tidak pernah lebih dari 226 ribu ton, padahal yang dibutuhkan 350 ribu ton. Ini menyebabkan impor tembakau pasti tinggi sedangkan harga tembakau dalam negeri rendah," ujarnya.
FCTC sebagai salah satu regulasi pengendalian tembakau yang telah diaksesi oleh produsen tembakau terbesar dunia seperti China, Brazil, dan India, juga dinilai sesuai dengan Nawacita Presiden Joko Widodo, RPJMN, dan SDGs 2016-2030.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFEUI) pada 2013 tentang kondisi perekonomian di 20 negara menunjukkan bahwa dengan aksesi FCTC tingkat pengangguran dan kemiskinan di 16 negara menurun, serta prevalensi merokok di 14 negara menurun.
Di sisi lain, produksi tembakau di 10 negara yang meratifikasi FCTC naik, begitu pula produksi rokoknya.
Salah satu negara ASEAN yang berhasil menerapkan FCTC yaitu Thailand.
Deni mengatakan Thailand mengaksesi FCTC pada 2004. Setelah aksesi FCTC, prevalensi perokok menurun dari 32 persen pada 2001 menjadi 20,5 persen pada 2013.
Namun, meskipun prevalensi perokok menurun, konsumsi tembakau Thailand masih stabil bahkan meningkat dari 1.727 juta bungkus pada 2001 menjadi 1.790 juta bungkus pada 2009 karena pertambahan penduduk.
"Jadi, pemerintah tidak perlu khawatir industri rokok akan gulung tikar dan terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran seperti dikhawatirkan selama ini," tuturnya.
Pemerintah juga tidak perlu takut akan kehilangan pendapatan dari cukai hasil tembakau karena Thailand justru meningkatkan pendapatan cukai setelah mengaksesi FCTC hingga empat kali lipat.
"Pada 1991 pendapatan Thailand dari cukai tembakau 530 juta dolar AS dan meningkat menjadi 1.907 juta dolar AS pada 2011. Itu karena tembakau merupakan zat adiktif yang akan sulit ditinggalkan oleh pecandunya," imbuhnya.
Menurut Deni, peraturan yang ketat mengenai rokok akan memperlambat penambahan prevalensi perokok dan efektif bagi perokok muda. Itu berarti, aksesi FCTC akan melindungi generasi muda Indonesia.
Sebelumnya pada Selasa (14/6/2016), Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas kabinet menyampaikan bahwa rencana aksesi FCTC perlu dikaji dengan mempertimbangkan kepentingan nasional.
Kepentingan nasional yang dimaksud meliputi perlindungan kesehatan terutama generasi muda dan dampak aksesi FCTC terhadap pihak-pihak terkait seperti petani dan tenaga kerja di sektor tembakau.

Editor : Marcel Rombe Baan
Sumber tulisan

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung