Kesehatan adalah sokoguru pembangunan. Ia menjadi fondasi yang bisa menjadi pendukung proses pembangunan secara keseluruhan. Jika orang tidak sehat maka ia tidak bisa hidup dengan baik dan tentu tidak akan produktif.

Di Indonesia sektor kesehatan diakui sebagai salah satu sektor penting. Namun dalam kebijakan publik pengakuan pentingnya satu sektor bisa dilihat dari program dan anggaran yang dialokasikan negara untuk sektor tersebut. 

WHO merekomendasikan agar negara mengalokasikan dana kesehatan setidaknya 5% dari PDB. Di banyak negara maju rata-rata anggaran kesehatan sudah 20% dari PDB. Bahkan di Amerika Serikat anggaran kesehatan menghabiskan 20% dari PDB.

Dari segi anggaran, sektor kesehatan Indonesia masih underfunded alias kekurangan biaya. Dalam beberapa tahun terakhir anggaran kesehatan Indonesia masih berkisar antara 2.8-3.0% dari PDB. Angka ini tentunya masih di bawah dari rata-rata anggaran kesehatan di negara berkembang, pun juga di bawah rekomendasi WHO.

Maka tidak heran jika diskusi di sektor kesehatan kita saat ini secara garis besar masih didominasi isu ketersediaan (provision). Dan belum fokus soal perbaikan kualitas. Diskusi soal JKN misalnya masih banyak soal defisit dan persebaran layanan kesehatan di Indonesia.

Misalnya secara nasional rasio ketercukupan tempat tidur per 1000 penduduk sudah memenuhi rekomendasi WHO yaitu 1 bed/1000 penduduk. Namun jika dilihat rasio bed di tingkat provinsi, bahkan hingga kabupaten kota, rasio bed kita sama sekali belum mencukupi standar minimal dari WHO. 

Selain ketersediaan bed, isu soal ketersediaan layanan kesehatan juga berkutat soal sebaran tenaga kesehatan terutama dokter spesialis. Menurut profil kesehatan tahun 2019, hanya 40% fasilitas kesehatan yang memiliki ketersediaan dokter spesialis lengkap. Sisanya masih kekurangan dokter spesialis.

Bagi para penduduk yang hidup di ibukota atau di kota besar provinsi tentunya tidak sulit menemukan layananan rumah sakit di tempatnya. Namun mereka yang ada di kota kecil bahkan di tempat tempat jauh di luar Jawa di perbatasan atau batas batas negara, maka mendapat kan layanan kesehatan adalah satu perjuangan fisik dan ketabahan. 

Persebaran yang tidak merata ini berpengaruh terhadap akses masyarakat terhadap layanan kesehatan. Maka tidak heran salah satu laporan studi JKN soal serapan anggaran BPJS menunjukkan bahwa klaim JKN di kota besar lebih besar di banding kota kecil salah satunya dipengaruhi ketersediaan RS. 

Sebagai orang yang tinggal di Depok, tapi berasal dari Garut saya bisa merasakan sendiri. Lebih sulit berobat di kota kecil daripada di kota besar. Ini juga yang saya alami saat mengantar orang tua berobat. Belum lagi jika melihat kualitas layanan yang diberikan.

(Foto sekedar ilustrasi)

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung