Saya dulu selalu mengamini saat ada temen atau kolega yang menyebarkan meme rangking daya baca dan kualitas pendidikan Indonesia dibanding negara lain dengan merujuk riset PISA seperti pada gambar di atas. Kemudian dalam hati saya setuju dan menganggap betapa sistem pendidikan kita berada jauh di bawah negara lain dan banyak yang perlu diperbaiki. Salah satunya yang paling terkenal adalah soal beapa rendahnya minat baca para pelajar.

Dulu saya telan mentah-mentah data-data seperti itu. Namun dalam beberapa minggu ini, saya berubah pikiran. Terutama setelah terpapar diskusi soal Critical Paedagogi yang dulu waktu zaman masih aktif di IPM menjadi fondasi sistem perkaderan yang kami ikuti. Pandangan saya berubah terutama karena dalam salah satu kelas, saya terpapar buku dari Glass dan Berliner soal Mitos dan Kebohonan Seputar Sistem Pendidikan di AS (50 Myths and Lies That Threaten America’s Public Schools: The Real Crisis in Education)

Buku itu mencoba mengadvokasi berbagai macam hoaks dan kebohongan yang beredar seputar sistem pendidikan AS. Dan betapa sebetulnya mereka pernah dan sampai sekarang masih mengalami fase-fase mitos dan informasi yang kurang tepat soal reformasi pendidikan di negara itu. Banyak mitos dan hoaks yang menarik dan relevan dengan kondisi kita di dalam negeri. Termasuk soal betapa ide pentingnya standarisasi pendidikan yang selalu muncul dan tenggelam dalam perdebatan. 


Nah soal kasus skor PISA di atas itu, sebetulnya itu ada dalam tema besar soal penggunaan tes standardisasi yang digunakan oleh banyak orang untuk mengukur kualitas sebuah sistem. Dalam konteks AS, mereka selama ini merasa memiliki sistem pendidikan yang paripurna, namun dalam tes PISA itu, posisi AS ternyata jeblok, ada di papan tengah dan kemudian merasa medioker dibandingkan capaian negara-negara maju lain, terutama misalnya yang selalu diagungkan adalah sistem pendidikan Finlandia. Pertanyaannya kemudian apakah sebegitu buruk kah sistem pendidikan di AS?

Terlepas dari apakah ukurannya pas, reliable, ataukah adil mengukur sistem pendidikan satu negara dengan negara yang lain, yang menjadi fokus diskusi Glass dan Berliner adalah soal metode perbandingan yang  tidak seimbang antara satu negara dengan negara yang lain. Paling tidak ada dua argumentasi yang diajukan mengapa mengukur kualitas sistem dengan pola komparasi seperti itu tidak selalu tepat dan menggambarkan kondisi sebenarnya. 

Pertama, bahwa standardisasi  dibuat untuk melakukan saringan dan ukuran secara general. Karena itu, tentu supaya angka bisa dibandingkan akan ada penyederhanaan dan reduksi. Penyederhanaan juga dilakukan supaya proses pengukuran menjadi lebih sederhana, bisa berkelanjutan dan bisa dibandingkan antar negara satu dengan yang lain. Yang menjadi masalah adalah bahwa pengukuran seperti itu sama sekali tidak bisa secara utuh bisa merepresentasikan kondisi sebenarnya negara yang diukur.  Apalagi jika kita sepakat bahwa sistem pendidikan adalah sesuatu yang kompleks yang memiliki banyak dimensi dan variable yang tidak sederhana. 

Satu kelemahan pengukuran yang terstandar seperti itu biasanya adalah melihat sesuatu dari  hasil akhir, misalnya skor dan skill dalam membaca, menghitung, dan kemampuan lain yang spesifik. Aspek-aspek yang sulit dihitung misalnya soal kebebasan berpikir, kreatifitas dan kemampuan lain yang lebih rumit sama sekali tidak akan tergambar bahkan bisa jadi akan diabaikan. Jadi dalam prakteknya proses perbandingan hanya melibatkan sebagian sisi dari produk sistem pendidikan. Diskusi seperti ini juga terjadi di negara kita saat dulu banyak orang menentang sistem yang hanya mengukur kelulusan sekolah dengan menggunakan skor UN. Masalah yang sama. 

Kedua, karena yang dibandingkan memiliki fitur dan kondisi yang berbeda-beda, juga karena tidak ada kontrol dan penyamaan bobot atau kriteria. Misalnya yang sering diabaikan salah satunya adalah input dan besaran sistem pendidikan. Negara yang memiliki ratusan juta penduduk tentu tidak akan adil jika dibandingkan dengan negara kecil atau negara kota  yang jumlah penduduknya sedikit. Mengurus sistem dengan isi dan volume yang besar akan lebih kompleks daripada sistem pendidikan dengan jumlah orang sedikit. Belum lagi bicara luas dan faktor kondisi sosio ekonomi dan kesejahteraan penduduk. Sementara dalam konteks standar internasional seperti dalam kasus skor PISA itu yang dibandingkan adalah rata-rata nilai nasional. Bagi negara besar tentu sulitnya mencapai pemerataan dalam segala bidang patu menjadi isu khusus yang perlu dipertimbangkan.

Oleh karenanya membandingkan capaian Finlandia yang rata-rata tingkat kemiskinannya di sekolah dibawah 5% tentu akan beda dan tidak adil dengan AS yang rata-rata kemiskinan di sekolahnya 10% misalnya. Sebagai negara yang besar, AS menghadapi masalah ketimpangan kondisi kesejahteraan antar negara bagian yang berbeda-beda. Sebagai contoh, kualitas rata-rata sekolah di Massachuset jauh lebih baik dibanding misalnya kualitas di negara bagian Ohio dan seterusnya.

Untuk membuktikan ini, bahkan beberapa peneliti membuat kajian dan mengolah kembali data skor dari Pisa dengan mengontrol perbandingan rata-rata sekolah dengan penyesuaian persamaan tingkat kemiskinan. Hasilnya jika dibandingkan antara sekolah dengan rata-rata murid miskin 5% ternyata peringkat sakolah AS berada di jajaran atas rangking PISA. Jadi jika perbandingannya setara dan sama maka performa yang terpantau akan lebih baik.

Nah, karena mendapat perspektif seperti ini, skor dan perangkingan seperti PISA itu memang perlu kita lihat lebih hati-hati.  Meskipun itu penting sebagai ukuran dan panduan untuk mengidentifikasi titik-titik dan aspek lemah dari sebuah sistem tapi tidak serta merta bisa dijadikan ukuran yang utama. Dan sebetulnya logika yang sama bisa berlaku saat kita membandingkan kualitas pendidikan Indonesia dengan negara lain. Kalo mau adil sebelum membandingkan maka harus disamakan dulu kriteria dan saringannya. Saya kurang tahu apakah sudah ada peneliti yang juga membuat penelitian mengolah ulang data yang disampaikan seperti dalam kasus skor PISA tu. Menarik juga ya sebagai tema penelitian?!

Sebetulnya diskusi ini hampir sama dengan kalo kita ngobrolin soal performa dan pendaptan dari angka GDP. Secara total GDP Indonesia itu terbesar di ASEAN, tapi kalo dibagi per kapita (per kepala) kita ini nomer empat setelah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Perbandingannya juga tidak akan adil tanpa mempertimbangkan jumlah penduduk dan besarnya wilaya. Meskipun tetap bahwa fakta itu memicu dan memberi tahu ada hal yang kurang pas dalam pembangunan ekonomi kita.
  
Oke, sementara Ini aja dulu lah. Diskusi ini adalahg trigger aja, pertanyaan pemantik karena di FB masih ada aja, termasuk saya dulu, yang menyebarkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia saat ini sangat terpuruk.

Sorry kalo ngelantur karena Belum tidur udah sejak semalam, padahal udah jam 7 pagi.

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung