Dulu (dan mungkin sekarang juga) banyak orang yang melihat peradaban Barat (terutama Amerika) dari film dan tayangan televisi sebagai menganut seks bebas, permisif, toleran terhadap seks dan seterusnya. Jika kita nonton tayangan film dan televisi dari Hollywood, dengan mudah kita bisa mendapatkan kesan seperti itu. Karena kebebasan berekspresi, sehingga pakaian yang seksi dan adegan-adegan ciuman, dan juga karena seks adalah hal yang biasa.

Namun, akan menjadi salah besar jika hanya merujuk pada imej di media dan menganggap dalam kehidupan sehari-hari tidak jauh dari citra dalam tayangan film ataupun televisi. Setelah datang dan melihat sendiri selama 2 tahun, persepsi seperti itu rasanya tidak sepenuhnya benar. Terutama soal pelecehan dan perlindungan dari kekerasan seksual dan domestik. Saya memang tidak mengkaji isu ini secara khusus, namun dalam kenyatannya Amerika cukup ketat mengatur soal ekspersi seksualitas di lingkungan publik seperti tempat kerja dan lembaga pendidikan. 

Title IX dan Title VI Perlindungan di Tempat Kerja dan Lembaga Pendidikan

Bagi mereka yang akan sekolah di Amerika pasti akan menemukan pembahasan soal Title IX di saat orientasi kampus. Saya mendapatkan pembahasan soal ini dua kali. Sekali di orientasi yang diadakan oleh IIE sebagai pembekalan bagi para grantee Fulbright di Northern Illinois University, kedua saat orientasi kampus di Ohio University. Pengetahuan soal Title IX adalah sebuah keharusan bagi siapapun yang akan sekolah atau bekerja di US.

Title IX resminya berjudul Title IX of the Education Amendments of 1972 yang diusung oleh senator Birch Bayh dan anggota kongres Patsy Mink. Undang-undang atau ayat ini merupakan salah satu kelanjutan dari gelombang reformasi hak sipil di Amerika Serikat menyusul gerakan Civil Rights pada tahun 1960-an. Bunyi dari teks Title IX adalah seperti ini:


No person in the United States shall, on the basis of sex, be excluded from participation in, be denied the benefits of, or be subjected to discrimination under any education program or activity receiving Federal financial assistance.
— Cornell Law School's Legal Information Institute (20 U.S. Code § 1681 - Sex)

Dalam sejarahnya Title IX dikembangkan karena dalam UU Civil RIghts tahun 1964 tidak mencantumkan kelompok gender/seks sebagai kelas yang mendapatkan perlindungan dari diskriminasi. Title IX dibuat untuk memasukkan  kelompok seks sebagai kelas yang perlu dilindungi dan menghindarkan mereka dari semua jenis diskriminasi di semua lembaga yang mendapatkan dana dari pemerintah federal. Pada gilirannya Title IX meningkatkan kesempatan untuk perempuan terutama dalam masalah atletik. Seiring  perkembangan Title IX juag memberikan perlindungan dari diskriminasi berdasarkan dan dari pelecehan dan kekerasan seksual. 

Title IX digunakan sebagai perlindungan dari pelechan dan kekerasan seksual karena dua hal ini bisa mengganggu keseteraan dan kenyamanan terhadp akses terhadap pendidikan. Karena siswa atau mahasiswa yang mengalami hal ini akan terganggu keualitas belajarnya bahkan lebih jauh lagi akan terganggu dan terhalangi kemampuannya dalam menerima dan menikmati akses terhadap pendidikan. Bahkan institusi yang gagal memberikan perlindungan dari kekerasan dan pelecehan seksual bisa kehilangan akses untuk mendapatkan dana dari pemerintah federal. 

Jadi jika ada kampus yang tidak responsif atau tidak melakukan tindakan yang tepat dalam menghandle kasus kekerasan dan pelecehan seksual maka bisa disebut sebagai abai dan tidak comply terhadap title IX. Karenanya kampus atau institusi tersebut tidak layak mendapatkan anggaran dari negara. 
Title IX juga melindungi siapapun dari diskriminasi berbasis seks atau jenis kelamin dan orientasi seksual
Beberapa area yang menjadi concer dan menjadi wilayah pengaturan Title IX



Contoh kongkrit dari Sexual Misconduxt yang dilindungi oleh Title IX

Ada Tapi Tidak Diatur Dengan Cukup

Nah bagaimana dengan kondisi di negara kita? Saya harus kasih disclaimer dulu bahhwa saya tidak secara khusus melakukan kajian mendalam soal perlindungan dari kekerasan dan pelecehan seksual di institusi pendidikan kita. Namun dari beberapa kasus yang populer sama-sama kita bisa tahu. 

Kita masih ingat beberapa waktu lalu, publik Indonesia publik ribut soal perlu atau tidaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur soal kekerasan seksual. Soal draft UU terkait Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di negara kita masih ada kelompok yang menolak dan menjadi pembahasan yang alot. Padahal kekerasan seksual ataupun pelecehan adalah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan. 


Lalu beberapa waktu lalu juga sempat heboh soal mahasiswi salah satu perguruan tinggi terkenal di Indonesia di Yogyakarta yang mengaku korban kekerasan atau pelecehan seksual oleh temannya saat melakukan KKN. Lalu reaksi publik lagi-lagi terbelah. Meskipun banyak yang mendukung pengusutan, tapi berlarut-larut.  Saya tidak mendengar ada hukuman atau tindakan yang dilakukan oleh negara untuk menghukum institusi yang gagal memberikan perlindungan dari hal-hal seperti itu. Bahkan di berita awal tahun ini, kasus itu akhirnya diselesaikan dengan damai. Tuntuan DO atau hukuman tidak ada kejelasan.


Kasus lain tentunya baru-baru ini, saat heboh salah satu pengacara salah satu calon presiden yang bersengketa di MK ternyata juga sempat tersandung 'dugaan' pelecehan seksual juga. Meskipun itu terjadi di masa lalu dan sudah ada tindakan kepada yang bersangkutan dengan penonaktifan dari jabatan sebagai dosen, tapi yang bersangkutan masih bisa tampil di hadapan publik. 


Poin saya adalah hal seperti itu juga sering terjadi di negara kita namun serasa ada kekosongan hukum yang melindungi korban mau laki-laki ataupun perempuan sehingga penyelesaian harus dilakukan dengan kebijakan atau kebijaksanaan lembaga secara lokal atau bahkan perlu didukung juga dengan tekanan dari publik. Jika tidak ada yang terakhir, maka kasus-kasus macam itu cenderung ter/di abaikan atau menguap begitu saja. Jikapun ada yang pernah mengalaminya cenderung tutup mulut karena malu diketahui orang dan malah mendapatkan stigma.



Beda Persepsi Soal Kekerasan dan Pelecehan Seksual 

Saya kira satu  yang membedakan adalah persepsi soal seksualitas itu sendiri. Persepsi seks sebagai sebuah hal yang normal, bukan tabu dan diakui sebagai sebuah kebutuhan salah satu perbedaannya. Di Indonesia, penting atau tidaknya pendidikan seksualitas masih menjadi pembahasan yang sangat sensitif. Padahal mau tidak mau, seks dan seksualitas adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia yang tidak bisa dipisahkan. Karenanya selayaknya pengetahuan soal itu semestinya dimiliki secara cukup oleh setiap orang. Paling tidak untuk mendapatkannya tidak mendapatkan stigma yang negatif.

Sehingga pengetahuan dan urgensi soal penanganan terkait masalah ini juga tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Lalu dalam kehidupan sehari-hari pembahasan soal seks di negeri dan lingkungan kita cenderung dijadikan sebagai sindir sampir atau bahan lelucon receh dalam sisipan percakapan. Sehingga meski tidak dibahas atau dijadikan pembicaraan serius apalagi penting, pada prakteknya  pembahasan soal itu tidak pernah sepi. 


Tapi saya sebetulnya tidak ingin masuk terlalu jauh soal itu, yang ingin saya sampaikan dalam artikel ini adalah bahwa peraturan di Amerika ternyata sangat ketat mengatur soal pelecehan seksual termasuk memberikan perlindungan yang cukup aman terutama di dalam setting tempat kerja dan lembaga pendidikan. Perlindungan ini juga mencakup soal pelecehan dan diskriminasi seksual dan orientasi seksual di tempat kerja dan lembaga pendidikan.


Di Barat, benar bahwa seks itu bebas selama konsensual, tidak ada paksaan. Namun soal pelecehan, pemaksaan dan kekerasan secara seksual ternyata diatur dengan sangat ketat terutama di tempat kerja dan lembaga pendidikan. Dan jika itu terjadi hukumnya jelas, bahkan bagi lembaga yang abai dalam memberikan perlindungan dari hal semacam itu. 



Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung