“Leher Warjan serasa dibebani batu satu ton. Kaku dan pegal-pegal. Sudah dua hari ini dia tidak bisa tidur. Bagiamana tidak, anaknya yang paling sulung mau masuk ke SMA, sementara adiknya yang lebih kecil harus ikut les dan keperluan sekolahnya di SMP. Belum lagi kontrakan rumah sudah habis sejak minggu lalu. Untung saja ibu kost baik hati, karena keluarga Warjan sudah bertahun-tahun jadi penghuni kontrakan itu. Hal lain yang semakin membuat pening adalah tagihan rumah tangga yang lainnya. Dari mulai air galon yang sudah habis, listrik yang belum dibayar dan juga cicilan TV dan kulkas. 

Pusying tujuh keliling. Padahal Warjan punya kerjaan tetap dan gaji yang lumayan untuk hidup sekeluarga dengan anak dua. Tapi setiap bulan seakan-akan gaji yang diterima hanya numpang lewat karena kebutuhan sudah mendesak untuk dibayar. Akhirnya kas keluarga selalu kekurangan dan utang menumpuk dimana-mana. Warjan juga bingung, ia tidak punya tabungan dan pengeluaran untuk keluarga selalu membengkak setiap waktu.”


Sering dengar cerita seperti diatas? Ya banyak diantara kita yang mengalami kesulitan untuk mengatur keuangan. Terutama mereka yang sudah berkeluarga. Kebutuhan keluarga dari mulai pengeluaran sehari-hari hingga kebutuhan-kebutuhan lainnya selalu datang silih berganti tiada henti. Itulah namanya hidup, selama kita bernyawa ada kebutuhan yang perlu dipenuhi dan ada keinginan yang selalu ingin dituruti.

Berbeda saat kita masih sendiri. Waktu masih lajang semua hal bisa dijalani dengan enjoy saat hidup hanya sendirian. Waktu belum nikah, punya uang 100 ribu di kantong masih adem ayem saja. Selama cukup buat makan sehari esok rezeki pasti datang juga. Cuek, karena belum memiliki tanggungan. Kalo ga punya kontrakan bagi para aktifis bisa tidur dimana saja. Hidup nyaman, meskipun penuh ketidak pastian hehehe. Paling tidak itu pengalaman pribadi.

Namun berbeda setelah menikah, rasa tanggung jawab mengambil gadis untuk menjadi teman hidup kita membuat kita lebih berhati-hati mengelola keuangan. Syukur-syukur kalo ada uang yang dikelola, kalo tidak ada, yang ada pusying tujuh keliling puyengnya tidak terbayang. Akhirnya isu-isu mengenai pengetahuan praktis manajemen keluarga seperti perencanaan keuangan dan pengelolaan keuangan keluarga jadi cukup menarik perhatian. Nama-nama financial planner seperti Safir Senduk, Ahmad Ghozali atau Ligwina Hananto menjadi cukup familiar. Buku yang cukup menarik dan menjadi best seller karya Ligwina Hananto, Untuk Indonesia Yang Kuat aku baca dan bahkan kalo ada temen yang nikah dan kebetulan bisa hadir di pernikahannya, buku tersebut sering aku pilih untuk menjadi kado. Bagiku lebih penting memberikan peluang pengetahuan mengenai keuangan dengan buku seperti itu lebih strategis daripada kita ngasih kado barang lain yang belum tentu dibutuhkan.

Ada beberapa isi buku tersebut yang menarik misalnya :

1. Pentingnya Sebuah Rencana
Segala sesuatu perlu rencana. Pepatah yang sangat populer adalah ‘Jika kita gagal membuat rencana, maka itu sama artinya dengan Merencanakan untuk gagal’. Coba bisa dibayangkan ga, sudah punya rencana aja bisa gagal apalagi kalo tidak punya rencana sama sekali. Membuat rencana bukan termasuk budaya rata-rata orang Indonesia, apalagi rencana keuangan. Jangankan rencana keuangan banyak diantara anak-anak di indonesia yang masih bingung ketika ditanya, “kamu mau jadi apa kalo dah gede?”.

Dalam perencanaan keuangan kebutuhan atau tujuan finansial harus ditetapkan jauh-jauh sebelumnya sehingga tidak ada kata ‘mendesak’ karena kebutuhan yang akan dihadapi di masa depan telah terdeteksi secara dini. Dari mulai kebutuhan yang bisa terjadi kapan saja, jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang. Makanya dalam perencanaan keuangan yang namanya budgeting bisa detail banget dari mulai belanja harian, mingguan sampai bulanan. Kita seing mendengar istilah dana darurat, dana pendidikan, dana pensiun dlsb. Kalo kita coba bikin, pusying pa, karena angkanya jadi keliatan. Hehehe tapi itu penting jadi kita bisa tahu secara lebih jelas kebutuhan kita. Termasuk untuk kesehatan misalnya seperti kebutuhan asuransi, makanya ga heran kalo agen asuransi biasanya mereka juga menyamarkan profesinya dengan istilah financial advisor.

2. Kebiasaan Menabung
Kebiasaan menabung adalah kebiasaan yang penting dalam perencanaan keuangan. Tanpa kebiasaan menabung, tujuan finansial sependek dan sekecil apapun akan sulit dipenuhi. Namun dalam perencanaan keuangan kebiasaan menabung saja tidak cukup karena kita juga harus tahu cara menabung yang baik sehingga tujuan keuangan bisa tercapai sesuai waktunya.

Nah soal kebiasaan menabung, ini juga bukan kebiasaan yang membudaya di negara kita, ya paling tidak di lingkungan ku lah hehehe. Kebanyakan orang menabung dari sisa belanja dan setelah kebutuhan terpenuhi. Namun dengan cara seperti itu, seringkali kita menemukan di akhir bulan atau di tanggal tua, uang yang tadinya untuk nabung malah sudah habis duluan, dan menabungpun urung dilakukan. Ada satu tips atau cara yang baik yaitu dengan melakukan swift, atau mengubah kebiasaan menabung beda dari biasanya. Kalo biasanya kita menabung di akhir bulan setelah memenuhi kebutuhan, maka supaya nabungnya berhasil maka nabung dilakukan di awal. Sisihkan dulu uang buat tabungan, setelah itu baru kita poskan sisanya untuk kebutuhan baik yang harian, bulanan ataupun tahunan.

Yang kedua menabung pun ada caranya bisa pake tabungan biasa, deposito, reksadana dari mulai yang pasar uang sampai yang saham, sampai beli sahamnya langsung. Namun bagi seorang muslim, ada satu instrumen lagi yaitu infak dan sedekah. Setiap muslim meyakini kalo kita ‘nabung’ dengan cara bersedekah, atau berinfak pahala dan balasannya akan berlipat-lipat melebihi yang kita harapkan.

3. Menetapkan Prioritas dan Menahan Diri

Pernah denger ga ada yang pinjem kredit untuk pengeluaran yang konsumtif? Pernah pasti, dan kebiasaan seperti itu banyak terjadi di lingkungan kita. Ada orang yang utang untuk renovasi rumah atau nikahan atau beli kendaraan. Sebetulnya tidak salah namun kita harus punya prioritas dan bisa menahan diri untuk tidak melakukan pemborosan. Untuk menjelaskan poin ini aku teringat pepatah guru akhlak dulu di pondok, Kita harus bisa membedakan mana keinginan dan kebutuhan. Nah dalam hal prioritas belanja ataupun pengelolaan keuangan kita juga harus bisa menahan diri untuk tidak memenuhi semua keinginan tapi sekuat tenaga untuk mencoba memenuhi kebutuhan. Konsep yang sangat sederhana, tapi pada prakteknya coba aja deh. Yang terjadi biasanya terkadang kita memaksakan diri untuk memenuhi keinginan sedangkan kebutuhan terabaikan.

Soal ini ada tips yang baik dari Ahmad Ghozali mengenai urutan belanja setiap bulannya. Menurut Ahmad Ghozali jika kita punya penghasilan setiap bulannya harus dihabiskan saja, tapi tentunya dengan cara yang benar. Nah gini caranya kalo kita punya penghaslian rutin atau dapat rezeki nomplok maka (1) 10 % Keluarkan dulu untuk kewajiban agama seperti zakat, infak dan sedekah; baru setelah itu (2) maksimal 35 % untuk bayar cicilan utang utang, terus (3) Nabung buat kebutuhan masa depan kira-kira 10 % dan terakhir (4) Sisanya baru untuk biaya hidup sehari-hari. lengkapnya disini.

4. Disiplin dalam Melaksanakan Rencana

Ini hal yang sangat menantang dalam menjalankan rencana keuangan. Seringnya meskipun sudah ada rencana tapi selalu saja ada pengeluaran tidak terduga. Pengalaman coba selama hampir 7 bulan ada aja yang ga tercapai. So, we need more discipline here.

So, itu mungkin beberapa poin, namun yang menarik juga sebetulnya kalo setiap rumah tangga punya perencanaan keuangan dan bisa menjalaninya dengan baik, dengan kata lain maka akan rumah tangga yang stabil secara keuangan. Bisa berkembang dan bertahan, trus kelas menengah akan banyak dan indonesia semakin kuat.

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung