Satu sesi pesta demokrasi Negara kita telah usai pada 9 April yang lalu. Pemilu legislative ketiga di era reformasi telah dilaksanakan dengan berbagai kekurangan. 40 persen warga Negara yang memiliki hak pilih tidak memberikan hak pilihnya (sekitar 60juta). 30 % diantara mereka tidak memilih bukan karena tidak mau memilih, namun karena tidak bisa memilih. Puluhan juta penduduk tidak bisa menemunkan nama mereka dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang ada dalam setiap TPS.

Hal ini sungguh disayangkan oleh berbagai pihak. Bahkan pengamat mengatakan bahwa pemilu kali ini adalah pemilu paling buruk setelah era reformasi. Karena substansi pemilu adalah mengakomodir kehendak rakyat dengan mempersilahkan mereka memilih orang yang akan mewakili dan memperjuangkan aspirasi mereka di parlemen dan memilih presiden dan wakil prresiden. Sementara sekarang sebagian dari mereka tidak bisa menunaikan hak mereka tidak melakukan itu karena masalah teknis.


Namun yang lebih penting dari itu adalah 30 % dari mereka (sekitar 20%) adalah pemilih pemula. Pemilih pemula adalah pemilih yang masih berusia 17 – 22 tahun atau mereka yang baru melakukan pemilihan umum pertama kalinya. Yang penting untuk dibicarakan adalah apa sebetulnya pelajaran politik yang didapatkan oleh para pemilih pemula ini dari pileg 2009, 9 April yang lalu?

Pragmatisme yang semakkin massif
Pemilu 2009 tidak memberikan politik yang baik bagi masayarakat. Partai politik sebagai organisasi politik yang seharusnya memberikan pendidikan politik kepada rakyat sama sekali tidak memberikan pencerahan kepada rakyat. Parpol membiarkan masyarakat terombang-ambing dalam kebingungan dalam pemilihan legislative yang lalu. Pemilih hanya diposisikan untuk sekedar memilih tanpa informasi yang cukup untuk membuat pilihan yang rasional.

Inipun terjadi pada pemilih pemula. Pemilih pemula yang terkenal dengan potensi kritisnya pun tidak memndapatkan hak politiknya untuk mengetahui informasi ini dengan baik. Memang sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu yang lalu memang jauh dari maksimal. Yang lebih parah adalah pemilih pemula disuguhkan dengan pertunjukan politik oligarkis yang begitu pragmatis.

Betapa tidak di tengah persaingan antar partai kontestan pemilu dan internal partai antar caleg pragmatisme politik mendapatkan tempatnya yang subur. Money Politics yang seharusnya menjadi musuh bersama bangsa setelah lebih dari sepuluh tahun reformasi ternyata semakin menjadi di pemilu ketiga di era reformasi ini. Berita tentang caleg yang marah setelah pileg karena perolehan suara yang minim adalah bukti nyata proses money politik itu. Kita banyak sekali mendengar caleg yang harus babak belur secara ekonomi untuk melakukan kampanye, bahkan dari berbagai media dinyatakan bahwa untuk melakukan kampanye maksimal minimal seorang caleg merogoh uang sakunya paling tidak 500juta rupiah. Dan itu adalah uang pribadi. Sungguh sangat miris mendengarnya. Coba kita bayangkan berapa local bangunan sekolah yang bisa dibangun dengan uang sgitu? Atau berapa judul buku yang bisa dibagi dengan uang 500juta? Dan bayangkan lagi jika uang sebesar itu dikeluarkan oleh para caleg yang saat ini berjumlah 1,5 juta orang? Buanyaaak sekali.

Belum lagi penomena serangan fajar dan uang saku memilihi yang terjadi di hari pencoblosan, perang amplop, jual beli suara di kecamatan atau di kabupaten. Betapa besar dan banyaknya uang yang dikeluarkan untuk hal ini.

Ini saya melihat terjadi karena lemahnya pendidikan politik di Negara kita. Cara pandang rakyat terhadap elit politik pun masih sangat pragmatis. Jika kita tanya rakyat kebanyakan maka paling tidak masih banyak diantara mereka yang menganggap para elit politik ataupun legislator sebagai mesin ATM. Sehingga apa yang harus dilakukan oleh legislator adalah memberikan bantuan finansial bagi konstituennya. Maka yakinlah jika fenomena caleg stress yang selama ini diberitakan di media tidak hanya akan terjadi pada mereka yang tidak terpilih menjadi anggota dewan yang ‘mudah-mudahan terhormat’ tapi juga mereka yang terpilih dan tidak siap menjadi wakil rakyat. Karena serta mereka setelah mereka duduk di kursi panas, ratusan bahkan mungkin ribuan proposal akan segera dating menghampiri meja untuk meminta bantuan.

Padahal tugas utama seorang legislator adalah merumuskan kebijakan dalam bentuk UU atau perda, melakukan penganggaran, dan mengontrol kinerja eksekutif. Inilah pemahaman yang tidak sampai kepada masyarakat. Inilah penomena yang dihadapi oleh para pemilih pemula di negeri kita. Entah berapa tahun lagi kita akan melihat masyarakat yang menghukum calon yang menggunakan dana kampanye pribadi. Seperti yang terjadi pada Hillary Clinton di Amerika (Pamor Hillary turun setelah ketahuan menggunakan uang pribadi untuk kampanye). Hmmm kayaknya masih lama hehehe

Pemilih Pemula Tidak menjadi Fokus Partai Politik
Jumlah pemilih pemula adalah 30% dari total pemilih yang ada di pemilu 2009. Ini tentu merupakan jumlah yang sangat besar dan menggiurkan dari segi angka. Namun parpol nampaknya belum menjadikan pemilih pemula sebagai target utama bagi kampanye mereka. Meskipun berbagai parpol mendirikan organisasi sayap khusus untuk pemilih pemula, namun perhatian parpol terhadap pendidikan politik mereka memang masih kurang. Ini sebetulnya peluang yang harus dimanfaatkan oleh elemen sipil society untuk membrikan pendidikan politik bagi rakyat sehingga pemilih memiliki bargaining position dihadapan caleg, parpol atau capres/cawapres.

Jika pemahaman politik masyarakat sudah meningkat, maka mereka akan menjadi pemilih yang lebih kritis dan memiliki sikap terhadap parpol. Seperti yang terjadi di Venezuela, pemahaman rakyat terhadap UU membuat mereka labih kritis dan hak dan kewajiban warga Negara. Bahwa voter (pemilih) kedudukannya lebih tinggi daripada siapapun yang dipilih.

Maka Pendidikan Politik/pendidikan KEwargaan/Civic Education juga menjadi sangat penting untuk rakyat kita terutama pemilih pemula.

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung