Oleh : Deni Wahyudi Kurniawan, SSI*

Tanggal 31 Mei diperingati sebagai Hari Tanpa Tembakau Se-Dunia (HTTS) guna mengingatkan kesadaran masyarakat dunia akan bahaya pandemi konsumsi tembakau yang merupakan salah satu tantangan besar dalam pembangunan. Di tingkat global, WHO mencatat selama abad ke-20 sudah ada 100 juta orang meninggal terkait konsumsi tembakau, angka ini akan meningkat menjadi 1 milliar orang pada abad 21 jika hal ini terus dibiarkan (Tobacco Atlas 2015). Sementara di Indonesia lebih dari 200 ribu orang meninggal setiap tahun akibat rokok dengan total kerugian mencapai 378,5 triliun (Fakta Tembakau 2014).

Soal tembakau, Fatwa Majelis Tarjih pada 8 Maret 2010 tentang haramnya merokok merupakan identitas pembeda sikap Muhammadiyah disbanding ormas lain. Fatwa tersebut adalah salah satu satu salah satu bukti keberanian tajdid moral Muhammadiyah dalam bersikap di saat ormas lain masih gamang menghadapi pandemi tembakau dan hegemoni industri rokok. Disi lain, fatwa tersebut juga merupakan satu tonggak sejarah penting dalam isu pengendalian tembakau di Indonesia dan merupakan batu pijak strategis dalam upaya advokasi perlindungan kesehatan bangsa Indonesia dari licit drugs, nikotin.

Setelah 6 tahun fatwa ini dipublish, maka penting untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap sikap warga persyarikatan dan efeknya terhadap pengendalian konsumsi rokok di Indonesia secara keseluruhan.

Implementasi fatwa haram merokok

Diluar dalil tentang keharaman merokok, fatwa majelis tarjih mengamanatkan beberapa hal yang harus dilaksanakan oleh persyarikatan. Pertama, fatwa menganjurkan Muhamamdiyah untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai upaya advokasi pengendalian tembakau sebagai upaya amar maruf nahyi munkar untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Kedua, menganjurkan seluruh fungsionaris dan pengurus persyarikatan untuk menjadi teladan dalam menciptakan masyarakat yang bebas dari asap rokok, termasuk didalamnya menyediakan fasilitas untuk membantu berhenti merokok. Ketiga, mendorong pemerintah untuk memperkuat kebijakan terkait rokok khususnya dengan mendukung aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), mendorong peningkatan cukai dan harga rokok, melarang total iklan rokok  serta membantu diversifikasi dan alih tanam bagi petani tembakau.

Dari segi regulasi Muhammadiyah sudah memperkuat kebijakan internal terkait pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Kebijakan ini pertama-tama disebutkan dalam surat kesepakatan bersama antara 4 majelis yaitu Majelis Dikti, Majelis Dikdasmen, Majelis Pelayanan Sosial (MPS), Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) dan Majelis Tarjih yang dikeluarkan pada tahun 2010. Surat kesepakatan ini sangat progresif, karena selain menginstruksikan pelaksanaan KTR namun juga melarang semua amal usaha Muhammadiyah (AUM) untuk menerima sponsor dan kerjasama dengan industri rokok.

Kebijakan mengenai KTR ini kemudian diperkuat dengan edaran PP Muhammadiyah tahun 2011 tentang pelaksaanaan KTR di semua fasilitas dan forum Muhammadiyah. Pada tahun 2014 Muhammadiyah melangkah lebih maju dengan mengeluarkan Kerangka Kerja Muhammadiyah dalam Pengendalian Tembakau (Muhammadiyah Tobacco Control Framework).

Secara kelembagaan, Muhammadiyah melalui MPKU membuat kelompok kerja (pokja) pengendalian tembakau dan mendorong pembentukan Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Bahkan MTCC-UMY juga mendorong beberapa kampus Muhammadiyah untuk mengembangkan MTCC seperti yang sudah didirikan di Magelang, Semarang, Lombok dan Surabaya.

Upaya yang dilakukan Muhammadiyah tidak hanya sebatas upaya preventif dan penguatan kebijakan, namun juga membantu petani tembakau untuk alih tanam ke tanaman lain yang lebih sehat dan menguntungkan. Salah satu kisah yang fenomenal adalah keberhasilan Universitas Muhammadiyah Magelang membantu dan mendorong sebagian besar petani Tembakau di dusun Pakis Ketandan untuk beralih dari tanaman Tembakau ke sayuran organik.  Bahkan petani di Pakis sekarang sudah mampu mengekspor komoditas organiknya ke beberapa Negara di luar negeri.

Selain konsolidasi di internal, Muhammadiyah juga cukup aktif dalam advokasi untuk memperkuat kebijakan soal rokok di tingkat nasional. Bersama dengan Jaringan Pengendalian Tembakau di Tingkat Nasional, Muhammadiyah turut mendorong pemerintah untuk menyusun peta jalan (roadmap) pengendalian Tembakau dan segera melakukan aksesi terhadap FCTC. Untuk upaya pertama cukup berhasil dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) no 40 tahun 2013 tentang peta jalan pengendalian Tembakau, namun untuk FCTC hingga saat ini masih butuh perjuangan lebih keras lagi.

Anomali Sikap Negara Terhadap Tembakau

Meskipun sudah banyak perkembangan, Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara lain di dunia. Hingga saat ini Indonesia adalah satu-satunya Negara di Asia dan diantara Negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang belum meratifikasi dan menandatangani FCTC. Di fora internasional bidang kesehatan Indonesia masih termasuk Negara paria, bahkan dalam setiap sidang Conference of Party (COP) FCTC di PBB, diplomat Indonesia ditempatkan di tempat duduk paling belakang dan tidak boleh pasang bendera.

Di dalam negeri peraturan yang ada masih belum efektif untuk melindungi masyarakat dari bahaya pandemi nikotin. Hingga saat ini dari lebih 500 kabupaten/kota baru sekitar 180 saja yang sudah memiliki peraturan kawasan tanpa rokok. Itupun belum tentu implementasinya bisa berjalan dengan konsisten. Indonesia juga belum melarang iklan dan sponsor rokok, masih membolehkan penjualan rokok kepada anak-anak dan harga rokok yang sangat murah.

Bahkan kebijakan pemerintah seakan mengalami kemunduran. Disaat semua negara mengatur industry rokok dengan sangat keras, Indonesia malah melindunginya dengan berbagai macam ‘dukungan’. Indonesia juga menjadi salah satu Negara yang ‘mewakili’ industri rokok menggugat Australia ke WTO karena menerapkan kemasan polos di dalam negerinya. Bukti lain adalah terbitnya peraturan menteri perindustrian tentang peta jalan industry hasil Tembakau. Dalam dokumen tersebut pemerintah dengan sadar mendukung pelemahan regulasi pengendalian rokok yang sudah ada dan mendorong peningkatan produksi rokok menjadi 524 miliar batang, nyaris dua kali lipat angka yang ada tahun 2015. Sehingga sah saja jika banyak yang menduga bahwa target Nawa Cita dan RPJMN untuk menurunkan prevalensi perokok muda dari 7,5 % menjadi 5,4% hanyalah lips service belaka.

Dengan segala anomali dan ketidakjelasan sikap pemerintah dari berbagai rezi,, hasilnya  sudah jelas. Prevalensi perokok di Indonesia terus meningkat, bahkan untuk laki-laki Indonesia merupakan negara dengan perokok tertinggi di dunia (67%) dimana 2 dari 3 orang lak-laki bisa dipastikan seorang perokok. Perokok perempuan meningkat tiga kali lipat dari 1,5% tahun 2005 menjadi 4,5% tahun 2010. Hampir 60 % perokok mulai merokok di usia 19 tahun ke bawah. Usia mulai merokok pada anak usia 10-14 tahun meningkat dua kali lipat dari 9,5% menjadi 13,7%. Begitu pada usia perokok yang mulai pada 5-9 tahun meningkat dari 0,4% menjadi 1,45% (Riskesdas 2010 dan 2013). Sedangkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2006 dan 2014 menunjukkan prevalensi perokok usia 13-15 tahun naik dari 12.6% menjadi 20.30%.

Dengan kondisi seperti ini, harapan menuju Indonesia emas di tahun 2045 dibayang-bayangi kegagalan. Para pemuda yang saat ini mulai merokok 20 tahun kemudian rentan menjadi generasi ringkih yang lemah dan mudah sakit. Ramalan yang paling buruk adalah Indonesia bisa kehilangan bonus demografi yang hanya terjadi sekali dalam setiap siklus sebuah bangsa. Karena menggenjot pembangunan dengan membiarkan pandemi rokok, laksana membangun bahtera dan membiarkan kapal besar boleng dimana-mana.

Agenda ke depan

Masih belum efektifnya berbagai upaya pengendalian tembakau di Indonesia setidaknya dipicu oleh beberapa factor yang sangat fundamental. Pertama, komitmen pemerintah masih sangat lemah dalam melindungi kepentingan kesehatan masyarakat. Kedua, tingginya prevalensi membuat kecanduan rokok menjadi massif, bahkan dianggap sebagai budaya. Ketiga, interferensi dari industri rokok yang didukung lobby kuat dan modal kapital yang nyaris tak terhingga.

Oleh karena itu, melihat masih belum lurusnya sikap Negara dalam menyikapi permasalahan Tembakau maka Muhammadiyah harus sekali lagi ‘turun gunung’ mengingatkan bangsa agar siuman dari darurat nikotin. Muhammadiyah harus menegaskan kembali posisinya dalam gerakan moral mendorong Negara berpihak kepada kepentingan kesehatan masyarakat bukan mendukung kepentingan modal segelintir elit yang mengeruk keuntungan dalam ‘perang candu nikotin’.

Mainstreaming fatwa haram merokok harus terus dilakukan sebagai upaya denormalisasi perilaku merokok di kalangan masyarakat. Namun tidak cukup dengan mainstreaming dan penanaman budaya smoke free, perang melawan rokok harus dijadikan sebagai agenda gerakan di abad 21. Muhammadiyah bisa mendorong Negara untuk segera mengaksesi FCTC, melarang total iklan rokok dan menaikkan harga dan cukai rokok untuk melindungi generasi bangsa ini dari kencanduan nikotin.

Apalagi Keputusan Muktamar 2015 di Makassar di bagian B untuk isu-isu kebangsaan poin 10 yang dengan secara jelas menyebutkan bahwa salah satu agenda strategis Muhammadaiyah adalah berperan serta dalam memerangi pandemi narkotika dan zat adiktif termasuk di dalamnya adalah rokok.
———————————————-
Deni Wahyudi Kurniawan, SSI, Anggota Divisi Kesehatan Masyarakat MPKU PP Muhammadiyah



Tulisan ini dimuat di Suara Muhammadiyah

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung