By Dyah Robiah Al Adawiyyah

Lantai belum disapu, ruangan pengap karena jendela yang tidak dibuka lama, cucian menumpuk dan halaman penuh dedaunan berserakan. Ini situasi yang sering dihadapi ketika baru pulang pulang kampung. Menghabiskan waktu hampir 3 minggu lebih di kampung halaman memang menyenangkan. Berkumpul dengan keluarga, menikmati makanan favorit buatan ibu tidak lupa juga menikmati membeli jajanan kesukaan yang penuh nostalgia dengan harga sangat terjangkau.

Namun…

Setelah sekian tahun hidup berpisah sendiri dan akhirnya berkeluarga di tempat rantau, makna rumah masa kecil kesayangan pun mulai terasa pula berubah. Rumah yang dulu menjadi tempat kita kembali dan berbagi cerita di perantauan, tidak lagi senyaman dulu. Kamar kita yang penuh dengan memorabilia masa kecil dan sekolah juga tidak se-favorit dulu, teman main juga tidak mudah kita jumpai seperti dulu karena mereka sudah memiliki kesibukan berbeda.

Setelah beberapa hari tinggal di rumah orang tua di kampung halaman kita mulai menyadari bahwa saat ini rumah ini bukan lagi rumah kita tapi rumah orang tua kita dimana kita masih berperan sebagai anak atau sub-ordinat dalam keluarga. Berbeda ketika berada di tempat yang bisa kita sebut rumah sendiri, kita adalah bagian dari kepemimpinan yang bisa menentukan arah dan tujuan dari keluarga termsuk banyak hal teknis di dalamnya. Ketika kita di rumah orang tua kita masih harus melibatkan orang tua dalam membuat keputusan dalam rangka menghormati mereka, ada perbedaan dalam segi kemandirian dan kebebasan.

Sekarang kita merasa bahwa rumah berantakan yang penuh dengan pekerjaan tanpa akhir ini lebih nyaman dibandingkan rumah ibu yang rapih dan tanpa debu. Masakan resep baru dengan beberapa kelinci percobaan sukarela lebih meriah dibandingkan dengna kumpulan keluarga besar yang riuh berbagi cerita masa lalu. Kasur biasa di kamar rumah kita terasa lebih empuk daripada kasur nyaman yang ada di rumah orang tua karena menjadi tempat melepas lelah setelah seharian mengejar bocah yang sulit berdiam diri kesana kemari sambil mengerjkan pekerjaan rumah.

Perubahan seperti ini yang mulai membuat kita berpikir mengenai makna dari rumah dan istilah 'home sweet home' atau 'rumahku surgaku'. Istilah ini terasa sangat menarik karena yang sering kita bayangkan mungkin adalah rumah indah penuh estetika—yang sekarang sedang tren—yang bisa kita pamerkan kepada siapa saja dengan anak dan pasangan ideal ala iklan tv yang lucu dan penuh senyum menawan.

Setelah beberapa saat merebahkan diri di kasur sehabis perjalanan arus balik—kembali ke rumah tempat berkumpul dengan suami dan anak-anak. Kita menyadari bahwa rumah yang berantakan penuh mainan anak berceceran, cucian menumpuk dan teriakan anak-anak karena berebut mainan atau cekikikan karena bercanda saling menggelitik ini adalah kenyamanan baru versi saat ini. Tempat dimana kita bisa menjadi diri sendiri dan berkumpul dengan orang tercinta dan terdekat kita—suami dan anak-anak—itu yang disebut rumah yang paling menyenangkan terasa seperti surga. (dyh)

Disclaimer : Tulisan ini berdasarkan dari sudut pandang emak-emak di rumah (stay-at-home mom) yang dulunya juga anak rumahan.

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung