Beberapa waktu yang lalu berbagai serikat buruh dari sekitar Jakarta menggelar demonstrasi di depan balaikota Jakarta menuntut kenaikan upah minimum provinsi. Buruh menuntut janji Gubernur DKI yang baru, Joko Widodo, yang pada saat kampanye berjanji untuk meningkatkan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta. Buruh menganggap UMP saat ini sudah tidak memenuhi kebutuhan hidup di Jakarta. 

Buruh menuntut Gubernur DKI untuk menaikkan gaji menjadi 2,7 juta. Sementara hasil survey terbaru di DKI Jakarta menyebutkan bahwa minimal kebutuhan hidup layak di ibukota adalah sebesar 1,9 juta per bulan. Saat ini UMP Jakarta tahun 2012 adalah sebesar 1,5 juta hasil keputusan Gubernur Foke pada 2011. Padahal jika dibandingkan dengan UMP di tempat lain, UMP DKI merupakan yang paling tinggi di Indonesia.

Tingginya Biaya Hidup di Jakarta

Biaya hidup di DKI Jakarta dan daerah sekitarnya memang cukup tinggi. Selain karena merupakan kota terbesar, pusat pemerintahan dan pusat perekonomian ditambah lagi dengan banyaknya arus urbanisasi dan kepadatan penduduk menyebabkan berbagai kebutuhan hidup di Jakarta jauh lebih tinggi daripada di daerah-daerah lain. Termasuk dalam hal ini adalah harga-harga kebutuhan primer seperti sandang, pangan dan papan.

Sebagai gambaran untuk pangan harga sepiring nasi plus lauk sederhana di Jakarta minimal 10 ribu per porsi. Ini artinya jika makan sehari 3 kali, maka biaya untuk makan saja bisa menghabiskan 30 ribu perhari, atau 360 ribu perbulan untuk satu orang. Lain lagi jika buruh tersebut sudah berkeluarga dan memiliki tanggungan yang lain, biaya untuk makan bisa berlipat dua atau tiga kali. Jika diasumsikan dua kali maka, minimal untuk makan saja harus sedia 720 ribu / bulan. In baru untuk pangan, belum untuk yang lain. Sementara itu, harga sewa rumah kontrakan petak sederhana di Jakarta berkisar antara 500 ribu - 1 juta/bulan. Bahkan untuk daerah-daerah yang memiliki akses bagus dan dekat dengan pusat kota harga sewa tempat tinggal bisa melambung lebih dari 1 juta perbulan. Maka jika diambil rata-rata, bisa asumsi pengeluaran untuk rumah dan biaya operasionalnya (seperti listrik, air dan sebagainya) sebesar 750 ribu/bulan.

Maka dengan asumsi seperti diatas hanya untuk makan dan tempat tinggal paling tidak buruh di DKI membutuhkan dana sebesar 1,3 juta / bulan. Pengeluaran ini belum ditambah biaya transportasi dan komunikasi (pulsa) misalnya jika pulsa habis 200 ribu per bulan, ditambah ongkos sedikitnya 300 ribu  per bulan, maka Upah kerja sudah habis bahkan nombok. Belum lagi jika seorang buruh itu memiliki ketergantungan lain misalnya memiliki cicilan atau terjebak adiksi merokok. Buruh perokok mau tidak mau akan secara terpaksa menghabiskan sebagian dari penghasilannya untuk konsumsi rokok. Karena sifatnya yang mencandu, maka paling tidak peorkok harian akan menghabiskan satu bungkus rokok setiap hari. Maka UMP sebesar 1,5 juta / bulan sangat tidak cukup. Buruh sama sekali tidak ada untuk menabung untuk kepentingan darurat ataupun kebutuhan masa depan, karena untuk pangan.

Buruh merana, Negara Sengsara

Dengan kondisi seperti ini, maka para buruh di Jakarta dan sekitarnya rentan untuk terjebak dalam perlombaan yang tiada ujung. Mereka bekerja dan menghabiskan waktu untuk bekerja sebagai buruh di suatu perusahaan dan pabrik, dan jika pada suatu saat ia berhenti/diberhentikan, maka kemungkinan besar ia tidak akan memiliki kesiapan materi dalam bentuk tabungan atau aset untuk bertahan hidup.

Buruh akan semakin lemah dan tidak memiliki exit strategy keluar dari keadaan yang tidak menguntungkan seperti ini dan pada akhirnya ia akan terperosok lebih jauh ke dalam jurang kemiskinan. Dan dalam jangka panjang ini akan menimbulkan masalah bagi negara. Ketika para buruh ini dalam masa produktif mereka akan memberikan keuntungan bagi negara dalam bentuk devisa. Namun jika mereka sudah tidak lagi produktif maka ini akan menjadi beban negara dengan semakin bertambahnya kemiskinan dan proses pemiskinan.

Oleh karena itu Negara wajib melakukan intervensi dengan berbagai kebijakan untuk memastikan buruh dapat hidup layak untuk memenuhi kebutuhan primernya dan mampu menabung memenuhi kebutuhan sekunder di masa yang akan datang

Solusi dengan Memperbesar Penghasilan/Mengurangi Pengeluaran

Intervensi yang bisa dilakukan oleh negara untuk membantu masayarakat terutama buruh adalah dengan menaikkan penghasilan masyarakat. Menaikkan penghasilan masyarakat ditujukan agar masayarakat yang bekerja dapat memenuhi kebutuhan mendasarnya. Maka dengan menetapkan Upah Minimum Regional (UMR) atau di Jakarta disebut UMP setiap  buruh diharapkan akan mampu memenuhi kebutuhan primer.

Namun menaikkan penghasilan saja tidak cukup. Karena pertama, setiap orang cenderung meningkatkan gaya dan pengeluaran ketika penghasilannya meningkat. Pengeluaran dan Pemasukkan itu berbanding lurus. Ketika kita mengalami peningkatan penghasilan akan diikuti juga dengan pengeluaran yang lebih besar pula.  

Kedua, pengeluaran adalah masalah mental masyarakat, sebagian besar masayarakat gagal dalam melakukan prioritas pengeluaran bulanannya. Data BPS tahun 2009 menunjukkan bahwa 68% (7 dari 10) rumah tangga di Indonesia memiliki pengeluaran untuk membeli rokok. Dan 57% (6 dari 10) rumah tangga termiskin memiliki pengeluaran untuk membeli rokok. Yang lebih mencengangkan lagi pengeluaran untuk rokok berada pada prioritas kedua setelah beras, mengalahkan pengeluaran untuk 23 item lain termasuk kesehatan dan pendidikan.

Dari data tersebut didapatkan data bahwa pengeluaran untuk Rokok pada Rumah Tangga Perokok Termiskin 2009 11X > dari Pengeluaran untuk Daging, 7X > dari pengeluaran untuk Buah-buahan, 6X > dari pengeluaran untuk Pendidikan, 5X > dari pengeluaran untuk Susu Telur, 5X> dari Pengeluaran untuk Kesehatan dan 2X> dari Pengeluaran untuk Ikan. Data ini mengkonfirmasi ungkapan para perokok yang sangat terkenal “Lebih baik tidak makan daripada tidak merokok!”.

Padahal kebiasaan merokok bukannya memberikan nilai tambah kepada konsumennya, namun justru merugikan baik secara kesehatan maupun ekonomi. Dengan merokok maka s buruh memperbesar resiko terkena berbagai penyakit dibanding mereka yang tidak merokok. Secara ekonomi, buruh perokok akan mengkonsumsi rokok secara rutin. Jika diasumsikan satu hari satu bungkus dengan harga 10 ribu per bungkus, maka paling tidak buruh perokok akan menambah pengeluaran sebesar 300 ribu setiap bulan atau 3,6 juta dalam setahun. Padahal jika tidak merokok uang ini bisa digunakan sebagai tambahan kebutuhan primer atau menabung untuk berbagai kebutuhan di masa depan.

Maka dengan mempertimbangkan hal ini, untuk meningkatkan kesejahteraan buruh pemerintah seyogyanya tidak cukup melakukan intervensi dengan menaikkan UMP namun juga meminimalisir pengeluaran buruh. Meminimalisir ini bisa dilakukan dengan memberikan insentif atau subsidi untuk kebutuhan pelayanan untuk menjaga kualitas hidup buruh dan keluarganya. Salah satu contoh adalah mengurangi pengeluaran ketika buruh mengakses layanan kesehatan dan pendidikan. Maka dalam konteks ini berbagai program pro rakyat seperti sekolah gratis, biaya kesehatan gratis akan sangat membantu buruh untuk menekan pengeluarannya.

Namun disamping itu juga mengurangi faktor resiko juga penting agar buruh bisa salah satunya adalah dengan menekan prevalensi merokok di kalangan buruh. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkuat pergub mengenai Kawasan Tanpa Rokok di DKI yang sudah berjalan, terutama ditekankan dengan pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tempa kerja salah satunya adalah pabri-pabrik dengan beratus ribu karywawan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa selain melindungi kesehatan pekerja/buruh, menerapkan KTR di tempat kerja juga membantu kinerja perusahaan. Karena buruh bisa lebih sehat, lebih produktif dan presensi buruh di tempat kerja meningkat dan absensi menurun. Selain berkurangnya angka kesakitan di kalangan buruh.

Gambar dari sini :
http://www.tabloidhappywedding.com/file/slider/60THR-Cover-ok.jpg
https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSYWV6cLIrijvZPmW9kkbE4ATMS_ZR__1MCCbfRUa9-1-2UsRrm

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung