Akhir-akhir ini perbincangan mengenai khilafah kembali muncul dan mengemuka ke publik. Apalagi didorong dengan mengentalnya politik identitas dalam pilkada DKI Jakarta. Isu khilafah kembali menguat bahkan tidak sedikit media barat yang menuduh bahwa pemenang pilkada Jakarta disokong oleh pendukung khilafah. Bahkan sekelas buya Syafii pun komentar soal kedekatan pemenang pilkada dengan kelompok-kelompok radikal.
Secara pribadi saya melihat isu ini adalah euforia, trend sesaat, kalopun serius agak sulit untuk diwujudkan di tengah masyarakat multikultural seperti di Indoneasia. Rasanya ini akan seperti euforia penegakkan syariat islam paska reformasi. Karena dari segi parlemen, meski waktu itu banyak partai yang declare pro syariat islam tapi pada prakreknya tidak ada yang punya konsep yang jelas dan sikap politik yang konsisten pun juga dukungan publik yabg kuat.
Tapi bahasannya terlalu berat ya? Sebetulnya saya hanya ingin berpesan bahwa seringkali para pengusung penegakkan khalifah atau syariat islam fokus pada penegakkan hukum hukum islam terutama yang terkait dengan syariat. Padahal nilai islam lebih luas dan dalam daripada itu.
Dalam studi islam kajian keagamaan islam secara sederhana dapat dibagi ke dalam beberapa wilayah seperti Akidah, Akhlak dan Syariah.
Akidah terkait dengan keyakinan kepada sang pencipta dan menjadi inti dari ajaran agama ini. Karena tanpa tauhid yang juga disinggung dalam rukun islam pertama (syahadat) maka keberislaman runtuh akar nya.
Akhlak terkait dengan tata laku dan etika manusia kepada alam, baik itu sesama manusia, kepada hewan, tumbuhan, alam semesta dan lainnya secara umum.
Syariah atau fiqh adalah perangkat hukum positif baik itu yang terkait dengan jinayat (pidana) atau ahwal syakhsiyah (perdata).
Kalo kita lihat pembagian ini sangat luas dan ajaran islam sangat komprehensif. Namun saya perhatikan gerakan politik islam seringkali fokus pada masalah syariah. Misalnya dengan mendorong upaya pengembangan perda perda syariat seperti terjadi di beberapa daerah. Yang terkadang penerapannya menjadi gmana ya? Ya anda bisa lihat dan dengar sendiri.
Sedikit sekali gerakan-gerakan itu yang memberikan perhatian pada aspek diluar fikih. Padahal masalah akidah dan akhlak lebih fundamental dan menjadi dasar pengembangan hukum islam yang lainnya. Akidah dan akhlak diatas hukum syariat. Mengapa dulu rasul saat berdakwah memperkuat akidah dan akhlak dulu sebelum yang lainnya? Bukankah dalam fase mekkah akidah akhlak lebih ditekankan sehingga ayat-ayat Makkiyyah juga isinya sebagian besar soal ini? Syariat lebih banyak ditemukan dalam ayat-ayat Madaniyyah.
Rasul juga menyatakan bahwa salah satu alasan ia diutus adalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.
Misalnya saja kenapa tidak banyak yang fokus membumikan akhlak yang diambil dari sipat-sifat rasul yang wajib diteladani seperti shiddik, amanah, fathonah dan tabligh. Jika dalam bahasa sekarang maka umat islam harus menjadi umat yang penuh dengan integritas, profesional, pintar dan cerdas serta etos kerjanya kuat.
Maka tidak heran beberapa waktu lalu heboh soal penelitian salah lembaga diluar negeri yang menemukan ternyata negara-negara islam tidak lebih islami dibanding negara-negara yang tidak berdasarkan agama tertentu. Seperti juga penelitian Maarif Institute soal Indeks Kota Islami yang juga menemukan kota-kota yang sudah memiliki perda syariat belum tentu lebih islami dibanding kota lain. Karena kultur islamnya tidak atau belum menjadi budaya.
Saya jadi ingat salah satu penjelasan Pak Chamim Ilyas soal maqasid syariah. Bahwa salah satu yang dibawa nabi Muhammad adalah peradaban. Dengan wahyu pertama yang diturunkan soal metode menjadi beradab yaitu dengan belajar (membaca). Kemudian fokus pertama pada pembangunan akhlak atau etika maka islam sudah mendobrak peradaban barbar yang waktu itu sedang meraja lela.
Hukum positif justru berkembang setelah masyarakat meluas untuk mengakomodasi dan mengadministrasi serta menyalurkan pertentangan di masyarakat. Setelah akhlak dan etika diperkuat.
Tentu saya secara pribadi tidak berarti menolak syariat, namun kalo yang dimaksud adalah membumikan hukum potong tangan, penggal kepala, dan yang lainnya itu tentu tidak cukup. Apalagi pada tataran realitasnya bangsa kita adalah bangsa majemuk terdiri dari berbeda ras, bangsa dan agama. Belum lagi pemahaman keislaman soal hukum-hukum seperti diatas juga berbeda-beda diantara umat islam maka pada nyatanya syariat versi mana yang akan diterapkan?
Saya membayangkan negara yang islami itu adalah negara yang aman, sejahtera rakyatnya, pendidikanya kuat, ilmunya berkembang dan relijius. Negara islam tidak akan membiarkan perempuan dihinakan, kaum miskin ditelantarkan, ilmu dicampakkan dan konflik terjadi serta kekerasan dimana mana.
Di akhir saya teringat joke garing soal pancasila versi singapura yang disampaikan pa Farid Moeloek. Katanya orang Singapura itu punya pancasila; One wife, Two children, Three bedrooms, Four wheels, Fifty thousan salary (Satu istri, Dua anak, Tiga tempat tidur, kendaraan Empat roda dan penghasilan 50.000 dollar per tahun).
Pada akhirnya sepanjang pemahaman saya, agama tujuan utamanya adalah kemaslahatan dan kesejahteraan para pemeluknya. Secara substansi Islam sudah memenuhi itu, namun pada prakteknya yang belum. Katanya al islam mahjubun bil muslimin. Nilai islam justru terkubur karena perilaku pemeluknya.
Hehehe caliweura
Tolong abaikan tulisan ini

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung