sampah umat beragama
Sisa makanan di sebuah meja di Domino Pizza Sawangan. Sebelumnya 4 anak muda (3 berjilbab) makan siang di meja itu. Alih-alih membersihkan meja, sampah berserak begitu saja.

Sepanjang ada proses produksi dan konsumsi, maka sampah adalah sebuah keniscayaan. Jika ada kehidupan maka dua proses itu tidak bisa dihindari. Karenanya sampah adalah bagian dari hidup. Para ahli banyak yang menyarankan sampah tidak dilihat sebagai problem, sumber masalah, namun Sebaliknya sampah harus dilihat sebagai sumber penghasilan, income generator.

Tidak heran di banyak pemerintah daerah mulai digalakkan gerakan mengelola sampah. Di kota Depok sekarang setiap keluarga diedukasi untuk memisahkan sampah kering dan sampah basah sejak dari rumah untuk memudahkan petugas dalam mengklasifikasi sampah. Bahkan di tingkat satuan RW didorong untuk mendirikan dan mengelola bank sampah. Di komplek saya upaya ini sudah mulai digalakkan. Satu rumah tangga bisa mengelola sampah menjadi sumber penghasilan. Sampah yang dulu dianggap masalah malah bisa jadi sumber/penambah penghasilan.

Tapi di postingan ini saya tidak ingin bicara kebijakan atau tata kola persampahan di kota depok. Saya ingin sharing soal perilaku kita terhadap sampah yang ternyata masih banyak yang perlu diluruskan.

Dulu waktu tugas akhir S1 saya menulis skripsi dengan judul Tanggung Jawab
Manusia terhadap Lingkungan Hidup. Skripsi ini saya tulis ulang dalam bahasa inggris dan saya kirimkan ke Jurnal Kajian masyarakat islam di STAIN Salatiga. Lebih lengkap bisa dibaca disini.

Salah satu poin penting dalam skripsi saya adalah bahwa manusia memiliki tanggung jawab yang erat dalam memastikan dan menjaga keseimbangan lingkungan dan alam sekitar. Sebagai khalifah di muka bumi, tanggung jawab manusia sejatinya juga mencakup tugas untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Poin lain yang perlu ditegaskan juga bahwa menjaga lingkungan hidup adalah bagian integral dari keislaman, keimanan dan keihsanan seorang manusia. Manusia yang beriman dan melaksanakan Ihsan semestinya punya perilaku yang baik terhadap lingkungan hidup.

Nah kembali ke masalah sampah, banyaj perilaku umat islam yang tidak sinkron. Masih sering kita dapatkan fakta bahwa kesalehan individual seseorang tidak sesuai dengan perilakunya terhadap lingkungan. Seakan-akan masalah menjaga kebersihan dan lingkungan tidak masuk kriteria orang yang beriman.

Padahal kalo kita belajar hukum Islam dalam berbagai kitab klasik, bab yang pertama diajarkan adalah mengenai thaharah (tata cara bersuci). Dari mulai pembagian air, cara berwudlu, mandi wajib dan lain-lain. Bab pertama yang diajarkan justru terkait erat dengan kebersihan. Yang lain misalnya membersihkan jalan dari bahaya (misalnya duri atau sampah) adalah bagian dari keimanan. Kemudian Rasul juga menganjurkan untuk mandi dan bersuci sebelum jumatan, bersiwak, menghindari mesjid bagi wanita haid dan banyak contoh lainnya.

Dalam doa setelah wudhu disebutkan bahwa Allah senang pada orang yang suka bertobat dan orang yang suka mensucikan diri. Bahkan ada hadits yang menyatakan secara eksplisit bahwa kebersihan adalah bagian dari iman.

Namun dalam praktek masih sering kita lihat kesenjangan antara nilai-nilai bersih ini dengan pemahaman keagamaan dan praktek sehari-hari. Coba perhatikan kondisi toilet, tempat wudhu atau kamar mandi di musholla dan mesjid sekitar kita,  masih banyak yang kotor dan kumuh. Atau lokasi-lokasi serupa di tempat-tempat umum seperti di terminal tidak jauh berbeda keadaannya.

Beberapa kali saya dan keluarga makan di restoran cepat saji, saya menemukan meja bekas makan keluarga yang sepertinya orang-orang yang taat beragama (misalnya berhijab) ditinggalkan dalam kondisi berantakan dengan sampah makanan dan minuman berserakan. Padahal tidak jauh beberapa meter dari meja tersebut disediakan tempat sampah untuk sisa makanan. Memang ini terjadi nyaris secara umum di banyak tempat di negeri ini tidak eksklusif pada orang-oranv yang dianggap soleh itu saja. Namun rasanya ironis jika terjadi pada orang-orang yang dianggap syari' tapi soal sampah atau kebersihan ada catatan seperti ini.

Mengapa ini bisa terjadi? Masih terjadi? Menurut saya karena memang banyak orang yang melihat isu sampah dan kebersihan seperti ini tidak menjadi narasi utama. Isu seperti ini sebetulnya masuk pada ranah-ranah etika atau akhlak, yang seringkali lebih jarang diperbincangkan dibanding isu hukum atau syariat. Padahal akhlak dan etika adalah dasar dari hukum dan kedudukannya lebih supreme. Bukankah Rasulullah diturunkan dengn misi utama menyempurnakan akhlak?

Saya secara pribadi mencoba menanamkan kepedulian pada kebersihan aka membuang sampah sejak dini pada anak saya. Salah satu kesadaran yang saya tanamkan pada Ali Kahfi Karami adalah buang sampah pada tempatnya. Saya rasa menanamkan poin ini penting dipriotitaskan sejak awal.

Selain buang sampah pada tempatnya, kita juga harus mengajarkan untuk meminimalisir produksi sampah. Dua hal ini harus dilakukan secara simultan. Karena produksi sampah berlebih juga menjadi masalah tersendiri pada akhirnya.

So mari kita mulai dari diri sendiri dan keluarga untuk membuang sampah pada tempatnya dan meminimalisir produksi sampah. Jika setiap orang sudah aware dengan isu ini maka sampah tidak akan terlalu menjadi masalah.

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung