Minggu ini social media ramai dengan pemberitaan keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat yang melegalkan pernikahan sesama jenis pada Jumat 26 Juni 2015 yang lalu. Keputusan itu melegalkan pernikahan sesama jenis di 50 negara bagian di AS. Sebelumnya ada 14 negara bagian di AS yang melarang pernikahan sesama jenis. Dengan keputusan ini maka pasangan sesama jenis bisa menikah secara resmi dan mendapatkan status hukum yang sama dengan pasangan berbeda jenis. Salah satu lembaga yang concern terhadap ini adalah Freedom To Marry.

Sebetulnya bukan hanya AS yang melegalkan pernikahan sesama jenis, ada banyak negara yang terlebih dahulu sudah melakukan hal serupa (data berbeda ada yang menyebut 11 Negara, 14 negara dan 20 negara). Alasan utama yang dijadikan landasan pelegalan ini adalah bahwa bahwa menikah adalah hak dasar yang perlu dilindungi bagi semua orang tanpa melihat latar belakang seks, suku ras atau jenis kelamin. Cinta itu universal katanya.
hak mendasar yang harus dimiliki oleh setiap manusia adalah kebebasan untuk mencintai individu lain dan melakukan legalisasi hubungan percintaan mereka dalam lembaga sosial berupa pernikahan tanpa melihat jenis kelamin, suku, ras, agama atau kelompok sosial yang melatarbelakangi keduanya (Tahmindjis 2014, 121)
Perkembangan terkahir di AS ini tentunya menggemparkan dan menjadi headline di banyak media. Lebih jauh peristiwa ini juga 'seperti' mendapat dukungan dari banyak pihak. Banyak sekali platform media sosial yang mendukung ini dengan membuat apps atau logo mendukung kemenangan bersejarah di amerika tersbeut, dari mulai Facebook, twitter, google, youtube dan yang lainnya. Mereka menggunakan simbol pelangi dan atau taggar #lovewins. Laskar Pelangi? hihi Bahkan diberitakan dalam jangka waktu beberapa hari ada sekitar 25 juta orang yang mendukung peristiwa ini dengan mengubah profile picture di Facebokk dengan desain warna warni.

Isu Kontroversi
Sebetulnya isu LGBT atau homoseks adalah isu yang kontroversi terutama di kalangan orang-orang yang beragama. Hampir semua agama menolak LGBT, baik itu Islam, Kristen atau Katolik dan beberapa agama lain. Ada yang sangat keras melarang, ada yang menerima namun tetap menyatakan bahwa homoseksualitas adalah suatu dosa. Di dalam Islam tentu penafsiran yang utama jelas bahwa homoseks tidak dapat diterima. Homoseksualitas diidentikkan dengan apa yang dikisahkan Quran sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh kaum Nabi Luthh. Bahkan dalam bahasa Arab, homoseksualitas disebut Liwath, yang secara kebahasaan diambil dari kata Luth itu sendiri. Dan kaum yang melakukan homoseks ini akan mendapatkan azab dari Allah swt.

Selain argumen keagamaan yang melandasi penolakan terhadap LGBT juga adalah sakralitas pernikahan. Bagi sebagian orang ada yang menghormati pilihan preverensi orientasi seksual kepada sesama jenis namun tidak akan mendukung upaya pelegalannya ke dalam sebuah institutsi pernikahan. Karena pelegalan pernikahan sesama jenis dikhawatirkan akan mengacaukan dan mencoreng lembaga pernikahan sebagai sesuatu yang suci dan untuk memperoleh keturunan. Meskipun sudah tidak lagi dikategorikan sebagai penyimpangan perilaku di dalam literatur psikologi dan kedokteran, namun secara sosial perilaku homoseks juga masih belum bisa diterima terutama di kultur masayarakat timur.

Homoseksualitas; Genetis atau Nurtured?
Selalu menjadi pertanyaan apakah Homoseks itu adalah bawaan lahir yang tidak bisa diganggu gugat? ataukah sesuatu yang ditanamkan dan dipelajari dari praktek dan lingkungan? Sejauh ini memang dua-duanya memiliki landasan dan bukti. Ada beberapa orang yang memang tercipta dan merasa menyukai sesama jenis sejak ia dilahirkan. Sehingga karenanya seakan-akan ia merasa bahwa menyukai sesama jenis adalah suatu kodrat yang tidak bisa diubah dan harus diterima begitu saja. Tidak perlu diubah. Sementara dalam kasus lain ada beberapa ornag yang menjadi homoseks karena  awalnya pernah menjadi korban.

Beberapa tahun lalu saya pernah berdiskusi dengan orang yang memiliki kasus yang kedua. Awalnya dia korban sodomi oleh pamannya namun setelah beberapa kali malah menjadi ketagihan dan dengan sukarela mau disodomi bahkan mencari pasangan sesama jenis. Jadi keduanya bisa terjadi. Sehingga beberapa negara menyikapi berbeda dengan fenomena ini. Iran sebagai contoh mendorong penduduknya yang merasa memiliki ketertarikan kepada sesama jenis untuk melakukan operasi kelamin, trangender. Sementara di negara lain perilaku homoseks dikecam dan disudutkan untuk menimbulkan efek jera sehingga ia merasa itu sebagai sesuatu yang perlu diperbaiki.

Tentu jika dilihat dari perspektif keagamaan perilaku homoseks tidak bisa dibenarkan. Dan jika ada yang melakukannya selayaknya diberikan bantuan untuk dapat hidup normal seperti biasa tidak keluar dari fitrahnya. Manusia diciptakan lelaki dan perempuan untuk berpasangan. Namun juga menyikapi dengan kekerasan sama sekali bukan solusi. 

So bagaimana pendapat anda?

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung