Beberapa pendukung industri rokok (front liner) menyatakan bahwa jika konsumsi rokok dikendalikan maka yang akan paling dirugikan adalah petani dan pekerja di sektor industri produk tembakau. Argumentasi ini selalu didengungkan sebagai mantra wajib untuk menentang segala bentuk kebijakan pengendalian tembakau.

Industri selalu mendalilkan bahwa jika rokok dikendalikan maka konsumsinya akan turun dan menyebabkan penurunan produksi yang kemudian akan menimbulkan kerugian kepada industri rokok. Jika sudah rugi industri akan dengan terpaksa harus mengurangi biaya produksi yang salah satunya adalah dengan melakukan efisiensi tenaga kerja dan memicu terjadinya PHK massal. 

Mereka juga mengklaim bahwa negara juga akan merugi karena setoran pajak dan cukai industri rokok akan berkurang yang berarti pemasukkan negara juga berkurang. Kemudian petani tembakau akan kehilangan konsumen yang akan membeli tembakau yang ditanam. Intinya pengendalian konsumsi rokok akan menimbulkan pengangguran dan kerugian ekonomi bagi petani tembakau.

Sepintas argumentasi ini sepertinya logis, dan banyak orang yang percaya dengan premis ini termasuk beberapa kalangan di pemerintahan, terutama yang terkait dengan perdagangan dan perindustrian. Maka tidak heran jika nyaris semua rezim yang pernah berkuasa di negeri ini, selalu merasa gamang dan galau dalam melakukan pengendalian konsumsi rokok. Dari sejak masa Reformasi, pemerintah belum kompak dan satu visi dalam pengaturan produk tembakau, kecuali pada zaman Presiden BJ Habibie.

Paradoks Pertanian Tembakau vs Industri Rokok
Bahwa terjadi PHK di Industri rokok dalam beberapa tahun ini adalah sebuah fakta. Sampoerna yang dimiliki Phillip Morris Indonesia dan Pabrik rokok memberhentikan hampir 20 ribu karyawannya tahun 2014. Kemudian hal yang sama juga terjadi pada Petani Tembakau. Harga Tembakau yang anjlok menyebabkan petani di beberapa daerah sentra tembakau mengalami kerugian yang cukup besar. Namun apakah betul kerugian itu disebabkan karena upaya pengendalian atau FCTC? Apakah pengendalian tembakau yang menimbulkan pengangguran dan membuat petani tembakau merugi?

Dalam 6 tahun terakhir ini pemerintah telah menyusun beberapa regulasi terkait pengendalian konsumsi rokok diantaranya adalah UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, dan PP 109 tahun 2012. Selain itu ada juga peraturan yang terkait dengan konsumsi yaitu UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai dan UU no. 29 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang baru diberlakukan tahun 2014. Beberapa peraturan tersebut mengatur penerapan kawasan dilarang merokok, peringatan kesehatan bergambar, kenaikan tarif cukai produk tembakau dan pengaturan penggunaannya serta penerapan pajak dan retribusi dearah pada produk tembakau. Meskipun hingga saat ini Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang belum mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), adanya berbagai peraturan tersebut menunjukkan sudah banyak perkembangan dalam regulasi konsumsi rokok. 
Lantas pertanyaannya apakah perkembangan pengaturan ini yang menyebabkan industri rokok dan petani tembakau merugi?

Menurut catatan dari kementerian perindustrian dan perdagangan Industri rokok masih mencatatkan pertumbuhan yang sangat pesat dan keuntungan yang berlipat ganda. Konsumsi rokok dan cerutu misalnya, dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir meningkat dengan sangat digdaya. Produksi rokok di Indonesia melonjak dari  270 Milliar batang tahun 2010 menjadi 350 milliar batang tahun 2014. Meningkat 80 milliar batang dalam 4 tahun. Peningkatan konsumsi ini juga diimbangi dengan laba bersih yang didapat oleh perusahaan rokok di Indonesia. Sebagai contoh pada tahun 2013, laba bersih Sampoerna mencapai Rp. 10,8 T, Gudang Garam Rp. 4,3 T.

Penambahan konsumsi yang tinggi juga diiringi dengan melonjaknya permintaan terhadap daun tembakau dari industri rokok dalam negeri. Menurut Hasan Aoni Aziz kebutuhan daun tembakau industri rokok Indonesia mencapai 250 ribu ton setiap tahunnya. Sementara petani Tembakau lokal hanya mampu memproduksi 140 – 170 ribu ton setiap tahunnya. Ada 80 – 110 ribu ton kebutuhan daun tembakau yang tidak bisa dipenuhi oleh tembakau dalam negeri. Kondisi ini yang mendorong pabrik-pabrik rokok memenuhi hampir 50% daun tembakau yang dibutuhkan dalam industrinya dengan tembakau impor.

Pertumbuhan konsumsi produk tembakau dan masih tumbuhnya laba perusahaan rokok menunjukkan bahwa pengendalian tembakau tidak terlalu berpengaruh terhadap industri rokok. Industri rokok masih untung dan dan dapat tumbuh dengan sehat. Sehingga asumsinya jika industri rokok masih untung maka pekerja dan petaninya pun selayaknya menikmati keuntungan yang serupa.

Namun pada saat industri rokok menikmati hingar bingar dan gemerlap perkembangan dan pertumbuhan industrinya dengan sangat digdaya, hal yang sama tidak terjadi pada pekerja industri dan petani Tembakau. Dua pabrik rokok di Jember dan Kudus merumahkan pekerjanya dan mengakibatkan kurang lebih 10 ribu pekerja kehilangan pekerjaan. Disisi lain kesejahteraan petani juga tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan. DI beberapa koran diberitakan bahwa petani Tembakau pendapatannya dibawah rata-rata UMR wilayah dimana ia melakukan pertanian. Terjadi anomali dan ketidaksinkronan antara industri rokok dengan kondisi pekerja dan petani Tembakau.

Mekanisasi Industri dan Lemahnya Proteksi Terhadap Petani

Masalah petani dan pekerja di sektor industri tembakau bukanlah pengaturan masalah konsumsi tembakau yang disusun dan dikembangkan oleh pemerintah selama ini. Ada hal lain yang membuat pekerja industri rokok terancam mata pencahariannya dan petani tembakau terancam peri kehidupannya.

Pekerja industri tembakau merugi karena proses mekanisasi industri untuk meningkatkan produksinya dan memenuhi tuntutan konsumsi industri tembakau secara global. Ketatnya regulasi di negara-negara maju memaksa industri rokok melakukan intensifikasi produksi di negara-negara berkembang. Mereka melakukannya dengan melakukan relokasi modal dan meningkatkan produksi melalui mekanisasi. Penggunaan mesin sangat membantu peningkatan produksi pabrik-pabrik mereka. Bayangkan rata-rata pekerja buruh linting rokok hanya bisa memproduksi rokok sebanyak 325 batang per jam, kalah jauh jika dibandingkan mesin yang mampu menghasilkan 20.000 cpm (cigarette per menit) atau 1,2 juta batang per jam.

Proses mekanisasi inilah yang menjadikan beberapa pabrik justru mengambil langkah untuk merumahkan pekerjanya dan bukan karena pengurangan konsumsi. PHK terhadap pekerja dan buruh industri rokok sejatinya bukan karena kerugian yang dialami perusahaan namun didorong oleh target untuk meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar yang tidak pernah jenuh.

Peningkatan produksi ini pula yang mendorong industri melakukan impor untuk memenuhi defisit produksi Tembakau. Dan pada saat ini pula, petani juga dirugikan karena banyaknya impor yang dlakukan oleh industri rokok. Kebijakan impor mengakibatkan banyak tembakau yang masuk ke indonesia dan ini mengurangi daya tawar tembakau lokal. Pertama, impor membuat supply di pasaran menjadi overload dan pada akhirnya mengurangi permintaan kebutuhan daun tembakau. Jika sudah oversupply maka harga akan turun hingga merugikan petani. Tembakau petani lokal akan sulit bersaing dengan tembakau luar yang harganya lebih murah. Persoalan yang dihadapi petani juga sebetulnya masalah klasik yang juga dihadapi oleh petani lain. Nyaris tidak ada proteksi dari pemerintah untuk mengatur tata niaga tembakau dari banjir produk luar negeri.

Sehingga dari dua data ini sebetulnya biang kerok kerugian pekerja dan petani bukan karena gencarnya ‘faktor luar’ yang biasanya dituduhkan kepada upaya pengendalian tembakau, namun lebih kepada dinamika internal yang yang terjadi di dalam tata niaga dan industri tembakau. Solusi bagi petani dan industri rokok ada pada kehadiran negara untuk meregulasi pola tata niaga pertembakauan dan pengaturan hubungan antara pekerja industri dengan pemilik industri rokok. Pembatasan impor daun tembakau dan penyiapan alternatif pekerjaan bagi pekerja industri adalah salah satu dari sekian upaya kongkrit membela dan memberdayakan petani tembakau dan pekerja industri rokok.

Menyalahkan pengendalian tembakau terhadap maraknya PHK di pekerja industri tembakau terhadap gencarnya upaya kesehatan dengan pengendalian tembakau sama sekali tidak relevan karena inti permasalahan bukan disitu. Laksana orang sakit pilek dan influenza tentu tidak akan sembuh dengan meminum obat diare atau muntaber.


Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung