Pembukaan dua, semoga lancar ya rabb.

begitu aku tulis dalam status facebook ku minggu lalu. Istriku tercinta waktu itu sudah terkapar lelah di sudut kamar rumah bersalin 'Bunda' cianjur. pembukaan dua, begitu suster menjelaskan. Khawatir dan was-was ada adalah dua perasaan yang berkecamuk di hati ini.

pada saat yang bersemaan sebuah pesan muncul di layar hp-ku. dua pesan menunggu untuk dibaca. seorang kakak kelasku dulu di pondok mengirim pesan. "Den, geus lahiran acan pamajikan? si nda mah tadi dipawarang uih deui ku dokter!". (Den istrimu dah lahiran belum? si Nda tadi disuruh pulang lagi sama dokter!). Maulinda teman sekelasku yang juga seadng hamil tua, ternyata sama juga sudah pembukaan dua. tapi dokter menyuruhnya kembali ke rumah karena masih lama.


sementara itu aku duduk termenung di pojok kamar, menemani istriku yang kelihatannya masih baik-baik saja. saat itu tidak terlihat gejala seorang wanita hamil yang akan melahirkan. dia masih segar dan bugar, ekspresi sakit jarang terlihat di raut mukanya, kecuali setiap dua jam sekali dia merasa mules di daerah perut.



Jam 9.30 malam, dede, ibu dan bapak mertuaku pamit. Istriku bercerita betapa dirinya merasa nervous menghadapi detik-detik persalinan. Bayang ragu dan khawatir kini terlihat jelas di raut mukanya. Sebagai suami aku hanya berkata dan mencoba menenangkan, "Tenang aja D, semua akan baik-baik saja." Meskipun dalam hati rasa ragu itu tetap tidak bisa aku enyahkan seluruhnya. Aku hanya berdoa dan meyakinkan diriku bahwa selama ini aku pikir istriku sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjalani proses kehamilan dengan sebaiknya. Gizi dan makanan sehat selalu berusaha ia konsumsi, susu ibu hamil selalu eku penuhi, tidak terlalu capek, dan satu kepala kelapa muda setipa hari selalu menemani waktu berbuka puasa kami.

Ya proses persalinan ini akan baik saja. Setelah berusaha, kami pun berharap kepada'Mu. Mungkin kami tidak selalu berdoa kepada mu ya Rabb, namun kami selalu berusaha untuk berdoa.

Malam itu kami tidak bisa istirahat, meskipun mata dipejanmkan, namun kantuk tak kunjung juga datang. Waktu menunjukkan pukul 3.00 ketika sebuah pesan kembali masuk. "Alhamdulillah telah lahir seorang putra dengan selamat pukul 2.45". Kakak kelasku kembali mengirim pesan, Maulinda telah melahirkan bayi laki-laki dengan selamat. Aku turut bersyukur. Beberapa menit kemudia Adi menelepon dan mengabarkan mengenai berita gembira tersebut. Ia kini telah menjadi soerang Bapak. Baik sekali sahabatku ini, dia membesarkan hatiku dan meyakinkan bahwa persalinan istriku pun akan berjalan dengan lancar. Amin, terucap beberapa kali dalam hatiku.

Sabtu, 10 September 2011, istriku masih kelihatan sehat dan bugar. Seorang suster yang melihat kami sudah bangun malah berseloroh kalo persalinan istriku masih lama. Pagi itu kami masih bisa menghabiskan waktu untuk mengitari dan berjalan-jalan di sekitar lokasi rumah persalinan. Meskipun setiap 1,5 jam, istriku selalu berhenti dan merasakan mules dan agak sakit di perutnya. Pukul 8 pagi dokter memeriksa, masih pembukaan 2. hmmm.. dan dokter menyarankan agar istriku diinduksi untuk mempercepat proses kontraksi dan pembukaan.

Dan sejak itulah selama sehari penuh, aku melihat bagaimana perjuangan seorang ibu yang akan melahirkan. Istriku mengerang kesakitan, tangannya memegang erat tanganku dengan kuat. Mules dan sakit di perutnya terasa semakin menjadi dan semakin sering dilakukan. Awalnya setiap 2 jam, kemudian 1,5 jam dan makin lama intensitas dan frekuensi nya semakin sering. Setiap 30, menit kemudian setiap 15 menit dan setiap 10 menit smeakin lama semakin sering. Melihat betapa kuatnya rasa sakit yangdirasakan istriku, pada detik itulah aku merasa betapa bersalahnya pernah melakukan salah ataupun menyakiti orangtua apalagi ibu. hampir 12 jam melihat istriku kesakitan 'menikmati' proses kontraksi adalah bukanlah sebuah kenangan yang menyenangkan. Jika bisa, seandainya bisa, ingin rasanya membantu istri menanggung sebagian sakit saat kontraksi. Dan masa itu adalah dmana seorang wanita hamil benar-benar diuji. Mental dan kesiapan fisiknya. Hanya iba dan kasihan yang bisa aku tunjukkan. Aku genggam tangannya seraya mencoba terus memotivasi istri tercinta agar dapat melewatinya dengan lebih tenang dan lebih kuat.



Pukul 18.00, seorang suster memeriksa dan mengatakan bahwa proses pembukaan istriku sudah masuk pembukaan 10 dan sudah harus masuk ke ruang bersalin. Sayang di rumah bersalin ini suami tidak bisa mendampingi istri dalam proses persalinan. Akhirnya setelah menemani dan mencoba menguatkannya selama seharian penuh, aku harus merelakan istriku berjuang sendiri di kamar bersalin. Semakin gundah dan khawatir saja hatiku ini. Satu pertanyaan yang selalu aku tanyakan kepada setiap orang yang keluar dari pintu yang bertuliskan kamar bersalin itu, "Apakah istriku baik-baik saja dok?" "Apakah istriku baik-baik saja suster?". hanya dua pertanyaan itu yang bisa aku sampaikan disusul dengan permintaan agar proses persalinannya dapat berjalan dengan lancar.

Dan saat itulah aku merasa tidak ada lagi yang benar-benar bisa aku lakukan kecuali berdo'a dan berharap segala sesuatunya berjalan dengan baik-baik saja. Mungkin inilah salah satu sifat manusia, saat kepepet rasanya kita bener-bener ingin bermesraan dan PDKT dengan bener2 sama Allah. Aku panjatkan doa-doa dengan lebih khusus, doa shalatku menjadi lebih panjang. Aku benar-benar berserah dan memohon dengan skuat tenaga agar proses persalinan ini dilancarkan.

Menunggu, menanti bukanlah pekerjaan yang menyenangkan. Apalagi menanti keadaan seorang istri yang memeprtaruhkan kehidupan, dalam persalinan. Menunggu istri yang akan melahirkan sangat melelahkan. Tiba-tiba waktu berjalan dengan begitu lambat, 5 menit serasa satu jam, dan setengah jam serasa setengah hari.

Keadaan berubah menjadi sunyi, dokter dan suster yang beberapa menit lalu masuk ke ruang persalinan dan bunyi roda ranjang berderit tidak lagi terdengar. Sepi sekali, hingga yang terdengar adalah hanya detak jantungku yang berdebar kencang menunggu kabar baik. Semenit, dua menit, lima menit, lambat sekali rasanya.

Hingga.... keajaiban itu terdengar, suara bayi menangis adalah sebuah keajaiban. Ya, suara tangisan itu seakan melebih kebahagiaanku saat mendengar rangking bagus, lulus kuliah atau pun momen kebahagiaan yang lain. Suara tangisan itu adalah suara kehidupan, yang membuat hidupku terasa semakin hidup. Dan mulai saat ini anda boleh memanggil saya Bapak Deni, karena sebentar lagi mungkin satu atau dua tahun lagi, akan ada manusia kecil yang akan memanggilku Bapak, atau Abah. Abah Uden hehehehe..

Pukul 7,24 WIB buah cinta kami lahir dengan sehat tentunya melalui persalinan normal. Seorang laki-laki dengan berat 2,8 kg dan panjang 48 cm. Bahagia sekali hatiku, aku ingin menangis, sangat terharu dan tiada terasa buliran air mata melelh di pipi. Kini aku seorang ayah.

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung