Pertama-tama saya ucapkan mohon maaf lahir dan batin untuk semua teman-teman dimana saja berada. Momen idul fitri yang baru saja dilewati beberapa hari yang lalu tentunya sangat penting bagi untuk digunakan sebagai sarana refleksi atas hidup dan memperbaiki hubungan personal dan interpersonal antar sesama penghuni bumi. So kalo selama ini ada kekurangan mohon dimaafkan, dan apabila ada kelebihan mohon dikembalikan hehehehe....
Seperti biasa setiap idul fitri aku menyempatkan diri untuk liburan. Kali ini seminggu sudah aku habiskan waktuku di kampung halaman. Seperti orang udik (kampung) lainnya, mudik (kembali ke udik/kampung) adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan saya. Apalagi setelah sejak tahun 2002 pergi ke jakarta, saat itulah saya benar-benar merasa punya kampung. Pulang kampung selalu menjadi ritual tahunan yang menyenangkan, bertemu sanak saudara, teman dan famili yang telah sekian lama terpisah jarak dan waktu. Melepas kerinduan dengan teman semasa kecil dan handai taulan selalu memberikan/mengingatkan kepada arti perjalanan yang selama ini sudah ditempuh.
 

Merantau

Komunitas kampung memang sangat unik, suasananya sangat asri, intim dan kohesifitas warga masih sangat luar biasa. Jika hadits rasul menyebutkan tetangga adalah orang yang tinggal di 40 rumah yang bersebelahan dengan tempat tinggal kita, maka kenyataan seperti masih bisa ditemukan di kampung. Jangankan kematian, perkawinan, atau peristiwa besar yang terjadi, bisa dikatakan salah seorang bersin pun semua warga akan mengetahuinya. Setiap perubahan dan peristiwa sekecil apapun apalagi yang menyangkut dengan kepentingan orang banyak, akan menjadi bahan pembicaraan di kalangan warga. Bisa dibilang komunitas di kampung sangat peduli dengan perubahan sekecil apapun itu, untuk tidak mengatakansangat sensisitif.
 

Setiap tahun, biasanya setiap idul fitri seorang atau dua pemuda pasti pergi mengikuti jejak pemuda lain ke kota. Urbanisasi memang masih menjadi gejala di kalangan masyarakat. Kesempatan yang minim, lahan kerja yang terbatas, peluang usaha yang kecil, biasanya menjadi alasan utama para pemuda kampung melakukan perjudian mengadu nasib di ibukota atau di kota-kota besar. Begitu juga dengan pemuda di kampungku, sebagian dari mereka membuka pangkas rambut, berjualan siomay atau kue kering, menjadi kuli bangunan, buruh pabrik , supir atau kondektur bus, dan atau moles (memasang dan atau menghaluskan keramik). Hampir semuanya memiliki niat yang sama, yaitu ingin mengubah hidup meski harus  berjuang ke kota menjadi tenaga kerja kasar. Jarang yang pergi untuk mencari ilmu, sekolah atau yang lainnya. Apalagi di daerah tempatku, anak muda yang pergi untuk kuliah atau sekolah masih bisa dihitung dengan jari, minim sekali.
 

Jauh Tapi Dekat di Hati

Meskipun jauh, namun demikian semangat dan kepedulian mereka terhadap kampung masih tinggi. Salah satu bukti nyata di tempatku sudah berdiri mesjid megah Al-Hidayah kebanggaan warga yang pembangunannya menghabiskan ratusan juta rupiah,  dananya bersumber dari patungan swadaya warga, baik yang tinggal atau merantau. Mesjid menjadi bukti betapa kepedulian warga masih besar untuk membangun kampung halaman.
 

Hal itu juga menunjukkan semangat kembali ke desa dengan cara apapun. Walaupun tidak bisa membantu secara fisik, namun kontribusi warga di perantauan tidak bisa dianggap remeh untuk daya tahan dan peningkatan kesejahteraan di kampung. Itulah mungkin yang diakatakan kearifan sebuah komunitas. Saat semua merasa memiliki maka kekuatan yang muncul dari dalam bisa membuat pembangunan berjalan dan terus menerus berjalan secara kontinyu.

Sebagai bagian dari anak muda yang merantau, tentu saya ingin ikut juga memberikan kontribusi. Aku ingin menginspirasi dan memberanikan pemuda dan anak-anak di kampungku untuk mau bermimpi! dan berani mengejarnya.

Post a Comment

Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung